Islam dan Syiar Dakwah Nusantara
Islam.
Betapa kata ini sederhana lagi sempurna,
utuh dan menyeluruh, indah serta menyejarah.
Adalah
Imam Al Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan sebuah kisah dari Thariq ibn
Syihab, bahwa telah datang seorang laki-laki dari kalangan Ahli Kitab Yahudi
kepada ‘Umar ibn Al Khaththab. Pria itu lalu berkata, “Wahai Amirul Mukminin,
ada sebuah ayat dalam kitab kalian dan kalian membacanya, sekiranya ayat itu
turun kepada kami sungguh akan kami jadikan hari di waktu ayat itu turun
sebagai hari raya tiap tahunnya”. Sayyidina ‘Umar bertanya kepadanya, “Ayat
manakah yang engkau maksudkan?” Lelaki Ahli Kitab itu menjawab,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ
لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“..Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan
atas kalian nikmat-nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam sebagai agama bagi
kalian..” (QS Al Maidah [5]: 3)
Maka,
Sayyidina ‘Umar menimpali, “Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui hari dan
tempat ketika ayat itu turun kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,
yaitu ketika hari Jumat bertepatan dengan hari ‘Arafah.”
Lihatlah
betapa cemburu seorang Ahli Kitab, pada sebuah penyebutan dan penegasan yang
gamblang dari Rabb semesta alam tentang agama yang diridhaiNya. Islam. Jadi
nama risalah ini tersurat secara resmi di dalam ayat yang suci, sementara
sejauh ini sulit menemukan agama lain yang mendapati namanya termaktub di
kitab-kitab mereka. Umumnya, nama sebuah agama berasal dari penisbatan masyhur
yang dilakukan oleh manusia dari sosok kunci atau ajaran.
Demikian
pula sebutan untuk pemeluk agama ini, diumumkan dari langit dengan penuh
kebanggaan, bahwa Allah sendiri yang memberi julukan sejak dahulu. Maka Islam
adalah risalah seluruh Nabi dan Rasul, dan muslim adalah nama untuk para
pengikut mereka di sepanjang zaman hingga kelak tiba masa pohon dan batu
berbicara tentang musuh kebenaran yang bersembunyi di belakangnya.
“Dan
berjihadlah kalian di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah
memilih kalian, dan Dia tidak menjadikan kesukaran untuk kalian di dalam agama.
Ikutilah agama bapak moyang kalian Ibrahim. Allah telah menamakan kalian
sebagai para Muslim sejak dahulu, dan begitu pula dalam Al Quran ini, agar
Rasul itu menjadi saksi atas kalian dan agar kalian semua menjadi saksi atas
segenap manusia. Maka laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat, dan
berpegangteguhlah kepada Allah. Dialah pelindung kalian; sungguh sebaik-baik
pelindung dan sebaik-baik penolong.” (QS. Al Hajj [41]: 78)
Ialah
tali Allah yang terentang teguh menjadi pegangan ummat manusia sepanjang zaman.
Maka untuk mewakili matarantai Islam dan Muslim itu, Allah memilih nama Ibrahim
‘Alaihis Salam kekasihNya. Inilah sosok yang ketika Allah perintahkan padanya,
“Aslim.. Islamlah engkau!”, bergegas dia menyambut, “Aku berislam pada Rabb
semesta alam.” Maka inilah agama yang mudah, luas, dan tegas. Inilah risalah
yang sederhana, indah, dan menyejarah.
Bahwa
pengertiannya sederhana; yakni sebersahaja Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam menjawab ketika ditanya oleh Malaikat Jibril yang menyamar, apa itu
Islam, dalam hadits panjang dari Sayyidina ‘Umar yang dibawakan oleh Imam
Muslim. Adalah beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak berrumit-rumit dengan
asal kata dan istilah. Tetapi menjawab dengan definisi ‘ilmiah yang ‘amaliah,
“Islam itu bahwasanya engkau bersaksi bahwa tiada Ilah selain Allah dan
Muhammad adalah RasulNya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa
Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah jika memampuinya.”
Berpunca
jaminan Allah “Kusempurnakan agama kalian” hingga makna ‘amal yang bersahaja
dari Rasulullah inilah, kata “Islam” itu telah cukup, utuh, lagi menyeluruh.
Maka
memberi sandaran berupa sebuah kata ataupun frasa di belakang kata Islam
rasanya tidak perlu, juga merepotkan. Bahkan kata segagah “kaaffah” dan frasa
secantik “rahmatan lil ‘aalamiin” pun ketika digandengkan dengannya menjadi
“Islam Kaaffah” serta “Islam Rahmatan lil ‘Aalamiin” telah bermasalah sejak pengambilan
asalnya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً
“Wahai
orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara kaaffah.” (QS
Al Baqarah [2]: 208)
Dalam
susunan ayat ini, kata “kaaffatan.. secara keseluruhannya” adalah kata
keterangan untuk “udkhuluu.. masuklah kalian.” Jadi yang kaaffah adalah
masuknya. Yakni masuklah secara kaaffah ke dalam Islam. Adapun kata “As Silm..
kedamaian” yang oleh Imam Ath Thabari setelah menyampaikan banyak riwayat
tentang tafsirnya dari Mujahid, Qatadah, Ibnu Abbas, As-Suddiy, Ibnu Zaid, dan
Adh-Dhahhak disimpulkan sebagai “Islam”, di dalam ayat ini berdiri tunggal,
tidak diberi sandaran apapun.
Sebagaimana
riwayat yang disebutkan oleh Imam Al Baghawi bahwa ayat ini turun tentang sebagian
Ahli Kitab yang ketika masuk Islam masih mengagungkan hari Sabtu dan bahkan
meminta izin untuk tetap membaca Taurat dalam shalat dengan alasan bahwa ianya
adalah Kalamullah; maka tuntutan ayat ini menunjukkan kesempurnaan dan
kemenyeluruhan Islam yang menjadikan segala lain tak diperlukan sebab ia telah
cukup lagi mencakup.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
“Dan
tidaklah Kami utus engkau wahai Muhammad melainkan untuk menjadi rahmat bagi
semesta alam.” (QS Al Anbiya’ [21]: 107)
Pun
di ayat ini, kita mendapati bahwa frasa “rahmatan lil ‘aalamiin” adalah
keterangan untuk “arsalnaaka.. Kami utus engkau”. Dengan demikian maknanya,
rahmat semesta alam itu adalah Rasulullah. Sehingga gabungan kata yang menjadi
simpulannya adalah “Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam rahmat bagi semesta
alam”, dan bukan “Islam Rahmatan lil ‘Alamin.”
Ini
sebagaimana yang disampaikan Imam Ath Thabari dalam Jami’ul Bayan maupun Imam
Al Qurthubi dalam Al Jami’ li Ahkamil Quran, bahwa; “Rahmat ini dalam makna
umum dan merata bagi semuanya. Karena lafazh al ‘aalamiin menunjukkan makna
mutlak dan menyeluruh, maksudnya rahmat untuk alam manusia, yang mukmin dan
yang kafir; untuk alam Malaikat; rahmat untuk alam jin, yang mukmin dan yang
kafir; dan rahmat untuk alam hewan.”
“Adapun
rahmat untuk yang beriman, maka Allah telah memberikan hidayah kepada mereka,
dan menanamkan iman ke dalam hati mereka. Kemudian juga memasukkan mereka ke
dalam surga dengan rahmat itu karena mereka telah mengamalkan ajaran yang dibawa
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Sedangkan
rahmat untuk orang-orang kafir, yaitu bahwa Allah ‘Azza wa Jalla tidak langsung
mengadzab mereka di dunia ini seperti Dia telah membinasakan orang-orang kafir
sebelum mereka yang telah mendustakan para Nabi dan Rasul dengan penenggelaman
dan pembenaman, melainkan menundanya hingga hari akhirat.”
Jadi,
jika kata segagah “kaaffah” dan frasa secantik “rahmatan lil ‘aalamiin” pun
ketika digandengkan dengan Islam telah bermasalah sejak pengambilan asalnya;
kita akan lebih kesulitan lagi memberi argumentasi pada penisbatan Islam
terhadap kata lain yang tak diambil dari Al Quran semisal “Liberal”,
“Progresif”, atau juga “Timur Tengah” dan “Nusantara.”
***
Islam.
Betapa kata ini sederhana lagi sempurna, utuh dan menyeluruh, indah serta
menyejarah. Adapun jika kita mentafakkuri tentang Islam di Nusantara, ada
hutang besar yang sudah seharusnya kita bayar. Ialah syi’ar dakwah, untuk,
oleh, dan dari Nusantara bagi seluruh ummat manusia.
Meski
Islam telah hadir di negeri ini sejak abad pertama Hijriah, terlacak dari surat
menyurat antara Maharaja Sri Indrawarman dari Kerajaan Sriwijaya dengan
Mu’awiyah ibn Abi Sufyan dan ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz, barangkali yang dapat kita
catat sebagai masa dakwah paling intensif dan massif di jazirah ini adalah enam
abad lalu. Untuk menyebutnya, dalam sejarah peradaban Islam kita dikenalkan
dengan istilah Futuhat.
Futuhat
inilah pembebasan yang dibawakan oleh Rasulullah dan para sahabat, sebagaimana
Allah istilahkan bagi perjanjian Hudaibiyah; “Inna fatahna laka fathan
mubiinaa.. Sesungguhnya Kami telah bukakan bagimu kemenangan yang nyata..” (QS
Al Fath [48]: 1); kota Makkah “Fa ja’ala min duuni dzalika fathan qariibaa..
Maka Dia jadikan di sebalik itu kemenangan yang dekat..” (QS Al Fath [48]: 27);
dan juga seluruh jazirah, “Idzaa jaa-a nashrullaahi wal fath, wa ra-aitannaasa
yadkhuluuna fii diinillaahi afwaajaa.. Apabila datang pertolongan Allah dan
kemenangan, dan kamu lihat manusia berbondong-bondong memasuki agama Allah.”
(QS An Nashr [110]: 1-2)
Melihat
ketiga peristiwa tersebut, sungguh indah bahwasanya Allah menunjukkan kepada
kita metode-metode bagi Futuhat yang tidak tunggal, apalagi sebagaimana sering
dituduhkan yakni melulu melalui peperangan. Tampak bahwa ia bisa berbentuk
perundingan damai yang selepas itu membawa begitu banyak kebaikan, atau juga
pengerahan kekuatan militer dengan pertumpahan darah yang amat minimal, dan
pula perutusan-perutusan yang membawakan kabar gembira, peringatan, seruan,
serta cahaya ini ke segala penjuru dunia.
Lalu
apa nilai pencerahan yang ditawarkan oleh Futuhat ini? Mari kita kenang sebuah
kalimat bersejarah. “Kami adalah kaum yang dibangkitkan Allah; untuk
membebaskan manusia:
1)
dari penghambaan kepada sesama makhluq, menuju peribadahan pada Khaliq semata.
2)
dari sempitnya dunia, menuju luasnya akhirat.
3)
dari kezhaliman agama-agama, menuju keadilan Islam.”
Jawaban
indah ini menjadi syi’ar Futuhat. Mulai dari Sa’d ibn Abi Waqqash sang panglima
besar, Al Mughirah ibn Syu’bah sang komandan lapangan, hingga Ribi’ ibn Amir si
prajurit kecil dalam kesempatan berbeda menyatakannya dengan amat kompak kepada
Rustum, panglima agung Persia dalam pertempuran Qadisiyah.
Maka
“tangan Allah bersama jama’ah”. Jika Musa ‘Alaihis Salaam yang berkata “Inna
ma’iya Rabbi sayahdin.. Sesungguhnya Rabbku bersamaku, Dia akan memberi
petunjuk padaku” dibelahkan laut untuknya, hingga kaumnya menyeberang dalam
takut diapit gelombang besar yang menggunung; pasukan Sa’d ibn Abi Waqqash
bergandeng tangan menyeberangi lebar dan derasnya arus Dajlah dengan karamah
yang membuat musuh terperangah. Selama tiga nilai Futuhat ini dipelihara;
jadilah ia da’wah yang mencahayai semesta.
Tapi
sejarah kita juga berisi pengalaman tentang bagaimana kiranya jika nilai-nilai
Futuhat ini tidak dijaga.
Di
Andalusia, saat raja-rajanya berrebut memperbudak kulit putih hingga jangat
hitam dan rambut pirang hingga mata biru; kekuasaan 7 abad di sana jadi sedikit
sekali membawakan ruh dakwah. Seperti digambarkan Ahmad Thompson dalam Islam in
Andalus, kolam-kolam khamr direnangi dalam pesta, permainan optik dan air raksa
menakutkan duta-duta Franka, bebangunan indah lagi rumit menjulang,
ornamen-ornamen ukir dan keramik menakjubkan, pun Ziryab mengenalkan fine
dining hingga mode pakaian tiap musim. Tapi bangsa keturunan Visigoth melihat
itu semua sebagai lambang penjajahan.
Saat
kuasanya rapuh dan antar penguasanya rusuh, Ferdinand dari Arragon dan Isabella
dari Castillia memulai reconquesta. Satu per satu; Cordoba, Malaga, Huelva,
Toledo, Sevilla, Almeria, dan akhirnya Granada jatuh. Maka tergulunglah
muslimin nyaris tanpa sisa hingga bukit tempat sang Sultan terakhir menangisi
lepasnya daulah terujung diberi nama “El Ultimo Sospiro del Moro”; desah nafas
terakhir orang Mor. Dan hingga hari ini, Spanyol dan Portugal di semenanjung
Iberia masih mencatatkan diri dalam tingkat Islamophobia yang amat tinggi.
Empat
abad lamanya pula, muslim Mughal memerintah tiga perempat anak benua. Tapi
seperti ditangisi Aurangzab Alamghir tentang Syah Jahan ayahnya; ketika cinta
pada 1 perempuan mengorbankan 30.000 budak Hindu yang dibunuh sebakda diperas
tenaganya untuk pembangunan kuburan mewah bernama Taj Mahal serta 3 tahun kas negara
bangkrut dan pajak dipungut paksa demi pembangunannya. Hari ini, hanya sepuluh
perratus kaum muslimin tersisa di negeri Bharata, India.
Adapun
Nusantara ini diasasi berkah da’wah para Wali dan Sultan Demak. Inilah
kesultanan yang mampu mengerahkan 300 kapal untuk berjihad melawan Portugis di
Malaka; tapi bahkan sisa istananya tak ditemukan. Sebab, demikian menurut
sebagian sejarawan, Sultannya amat bersahaja, hingga tempat tinggalnya pun tak
jauh beda dengan rakyatnya. Ia menjadi kontras dengan Majapahit yang sudah
lemah dan remuk oleh paregreg serta kesewenang-wenangan, tapi tetap
bermewah-megah para penguasanya.
Para
Sultan inipun tunduk pada Majelis Syuraa para ‘Ulama di Masjidnya. Mereka,
dengan gelar “Sunan” di depan nama, menjadi pelanjut dari generasi dakwah
sebelumnya yang penuh hikmah. Dan sahibul hikayat berkisah, sejak catatan
kelana Ibn Batuththah “Ar Rihlah” dihadiahkan Sultan Maroko kepada Muhammad I
dari Daulah ‘Utsmaniyah di Turki, dengan penuh semangat sang Sultan-Ghazi
mengirimkan da’i-da’i tangguh ke kepulauan ini.
Sebagai
gambaran tentang betapa terrencana dan rapinya kerja tim Futuhat ini dalam
merancang syi’ar dakwah Nusantara, sebuah Kropak rangkaian lontara yang
tersimpan di Ferrara, Italia, ternyata mencatat isi rapat para Wali itu dan
merangkum pengajaran-pengajaran yang mereka sepakati dalam mendakwahi
masyarakat Jawa saat itu. Jauh sebelum itu, Het Boek van Bonang telah menjadi
rujukan para sejarawan untuk melacak strategi dakwah yang dahsyat dari tim yang
masyhur dikenal sebagai Wali Sanga ini.
Dahsyat,
sebab, betapapun mereka belum sempurna menunaikan tugas dakwahnya, dan siapakah
memangnya yang sempurna dalam dakwah selain Rasulullah; tapi hingga hari ini,
belum ada lagi satu tim beranggotakan hanya beberapa mu’allim yang dalam waktu
kurang dari 50 tahun atas izin Allah mampu menjadikan sebuah kerajaan besar
yang tegak dengan Hindu dan Budha sebagai agama resmi, nyaris semua penduduk
jazirah intinya bersyahadat. Belum lagi nantinya kita melihat, bagaimana pusat
pendidikan mereka di Ampel, Giri, Kadilangu, Kudus, dan Cirebon mendidik para calon ‘Ulama dan Sultan untuk
Banten, Banjar, Mataram, Gowa, Ternate, Tidore, Bima, hingga Palembang.
Menyimak
bagaimana misalnya Maulana Malik Ibrahim yang ahli irigasi dan persawahan menjawab
persoalan pangan; bagaimana Maulana Maghribi I yang ahli ruqyah mengalahkan
para dukun, klenik, tempat angker, dan sihir; bagaimana Maulana Ahmad Jumadil
Kubra mendakwahi para penduduk gunung yang dikeramatkan; bagaimana Maulana
‘Aliyuddin dan Taqiyyuddin menekuni pengajaran di pelabuhan-pelabuhan;
bagaimana Maulana ‘Ali Rahmatullah mendirikan sekolah kasatriyan di Ampeldenta
untuk mengatasi krisis ketatanegaraan Majapahit; bagaimana Sunan Ngudung dan
Maulana Ja’far Ash Shadiq menjawab persoalan strategi perang dan keprajuritan;
hingga bagaimana Sunan Kalijaga menggubah budaya Islami untuk memassifkan
tabligh; kita semakin takjub tentang bagaimana tim ini bekerja.
Maka
inilah hutang besar kita, pada bangsa kita sendiri maupun dunia, sebuah syi’ar
dakwah Nusantara.
Hutang
terhadap diri sendiri sebab hari-hari ini kita berada di masa maraknya syi’ar
namun sering tak terpimpin, tanpa arah, dan tak jelas hendak menuju mana dan
meraih capaian apa; hingga kitapun susah menyebutnya “dakwah” apatah lagi “Futuhat”.
Tak usah sejauh itupun, sejak kemerdekaan Republik Indonesia beberapa sensus
telah digelar, dan prosentase jumlah ummat Islam terus menurun.
Litbang
Kementerian Agama juga pernah merilis data, bahwa antara tahun 1970-an hingga
1990-an awal, buku-buku yang terbit di kalangan ummat Islam didominasi wacana
Islamisasi pengetahuan, ekonomi Islam, hingga Politik Islam. Maka kitapun
memanennya di akhir periode itu dengan tumbuhnya Ikatan Cendikiawan Muslim,
ekonomi syari’ah, perbankan syari’ah, hingga kesadaran politik Islam.
Sebaliknya,
antara tahun 1990-an akhir hingga hari ini, buku yang terbit kebanyakannya
kembali mempertajam sisi-sisi khilafiyah furu’iyyah di kalangan ummat, antar
ormas Islam, organisasi dakwah, dan antar harakah. Detail sekali peruncingan
perbedaan itu hingga kitapun kembali memanennya dalam bentuk sensitifnya lagi
soal-soal yang sebenarnya bertahun lalu telah diredam oleh para ‘Ulama dan
Zu’ama dengan amat bijak.
Maka
kalau hari ini dalam bingkai Islam Nusantara, tawassuth didengungkan dengan
eksklusif seakan hanya kelompok kita yang moderat, tawazun didalilkan dengan
jumawa seakan hanya kelompok kita yang seimbang, i’tidal dilanggamkan dengan
nyaring seakan hanya kelompok kita yang tegak lurus, dan tasamuh didendangkan
dengan nada tinggi seakan hanya kelompok kita yang toleran; kita justru sungguh
khawatir ada bias terhadap syi’ar dakwah Nusantara yang menyentuh hati,
merangkul, melayani, menyatukan, dan memberdayakan.
Belum
lagi hutang kita pada Sultan Muhammad I yang mengirim da’i-da’inya ribuan mil, juga
hutang kita pada para ‘ulama yang menempuh perjalanan jauh dan berbahaya, dan
ukhuwah Islamiyah Mesir hingga Palestina yang diunjukkan penuh bangga mendukung
kemerdekaan Indonesia. Seperti kaidah “Pay It Forward”, kita tertuntut pula
membayarnya dengan membawa syi’ar dakwah Nusantara ini pada Eropa, Amerika,
Australia, hingga Cina. Bahwa hari-hari ini, komunitas muslim Nusantara di
berbagai negeri kian menunjukkan peran dakwah mereka bersama saudara-saudaranya
dari berbagai bangsa, semoga ianya bagian dari kabar gembira untuk masa depan.
Sebagai
penutup, izinkan kami menyampaikan sebuah kisah.
Imam
Muhammad Abu 'Anzah (berblangkon) dari Gaza mengimami Tarawih di Jogokariyan.
Suatu
saat kami sedang duduk di Masjid Jogokariyan, di hadirat Syaikh Dr. Abu Bakr Al
‘Awawidah, Wakil Ketua Rabithah ‘Ulama Palestina. Kami katakan pada beliau, “Ya
Syaikh, berbagai telaah menyatakan bahwa persoalan Palestina ini takkan selesai
sampai bangsa ‘Arab bersatu. Bagaimana pendapat Anda?”
Beliau
tersenyum. “Tidak begitu ya Ukhayya“, ujarnya lembut. “Sesungguhnya Allah
memilih untuk menjayakan agamanya ini sesiapa yang dipilihNya di antara
hambaNya; Dia genapkan untuk mereka syarat-syaratnya, lalu Dia muliakan mereka
dengan agama dan kejayaan itu.”
“Pada
kurun awal”, lanjut beliau, “Allah memilih Bangsa ‘Arab. Dipimpin Rasulullah,
Khulafaur Rasyidin, dan beberapa penguasa Daulah ‘Umawiyah, agama ini jaya.
Lalu ketika para penguasa Daulah itu beserta para punggawanya menyimpang,
Allahpun mencabut amanah penjayaan itu dari mereka.”
“Di
masa berikutnya, Allah memilih bangsa Persia. Dari arah Khurasan mereka datang
menyokong Daulah ‘Abbasiyah. Maka penyangga utama Daulah ini, dari Perdana
Menterinya, keluarga Al Baramikah, hingga panglima, bahkan banyak ‘Ulama dan
Cendikiawannya Allah bangkitkan dari kalangan orang Persia.”
“Lalu
ketika Bangsa Persia berpaling dan menyimpang, Allah cabut amanah itu dari
mereka; Allah berikan pada orang-orang Kurdi; puncaknya Shalahuddin Al Ayyubi
dan anak-anaknya.”
“Ketika
mereka juga berpaling, Allah alihkan amanah itu pada bekas-bekas budak dari
Asia Tengah yang disultankan di Mesir; Quthuz, Baybars, Qalawun di antaranya.
Mereka, orang-orang Mamluk.”
“Ketika
para Mamalik ini berpaling, Allah pula memindahkan amanah itu pada Bangsa
Turki; ‘Utsman Orthughrul dan anak turunnya, serta khususnya Muhammad Al
Fatih.”
“Ketika
Daulah ‘Aliyah ‘Utsmaniyah ini berpaling juga, Allah cabut amanah itu dan
rasa-rasanya, hingga hari ini, Allah belum menunjuk bangsa lain lagi untuk
memimpin penjayaan Islam ini.”
Beliau
menghela nafas panjang, kemudian tersenyum. Dengan matanya yang buta oleh
siksaan penjara Israel, dia arahkan wajahnya pada kami lalu berkata. “Sungguh
di antara bangsa-bangsa besar yang menerima Islam, bangsa kalianlah; yang agak
pendek, berkulit kecoklatan, lagi berhidung pesek”, katanya sedikit tertawa,
“Yang belum pernah ditunjuk Allah untuk memimpin penzhahiran agamanya ini.”
“Dan
bukankah Rasulullah bersabda bahwa pembawa kejayaan akhir zaman akan datang
dari arah Timur dengan bendera-bendera hitam mereka? Dulu para ‘Ulama
mengiranya Khurasan, dan Daulah ‘Abbasiyah sudah menggunakan pemaknaan itu
dalam kampanye mereka menggulingkan Daulah ‘Umawiyah. Tapi kini kita tahu;
dunia Islam ini membentang dari Maghrib; dari Maroko, sampai Merauke”, ujar
beliau terkekeh.
“Maka
sungguh aku berharap, yang dimaksud oleh Rasulullah itu adalah kalian, wahai
bangsa Muslim Nusantara. Hari ini, tugas kalian adalah menggenapi syarat-syarat
agar layak ditunjuk Allah memimpin peradaban Islam.”
“Ah,
aku sudah melihat tanda-tandanya. Tapi barangkali kami, para pejuang Palestina
masih harus bersabar sejenak berjuang di garis depan. Bersabar menanti kalian
layak memimpin. Bersabar menanti kalian datang. Bersabar hingga kita bersama
shalat di Masjidil Aqsha yang merdeka insyaallah.”
sumber: Taushiyah Ust Salim A Fillah
Komentar
Posting Komentar
Comments: