AL-TARADUF WA AL-ISYTIRAK WA AL-TADHAD

PENDAHULUAN
Bahasa berkembang terus sesuai dengan perkembangan pemikiran pemakai bahasa. Telah diketahui bahwa pemakaian bahasa diwujudkan didalam bentuk kata-kata dan kalimat. Manusialah yang menggunakan kata dan kalimat itu dan manusia pula yang menambah kosa kata sesuai dengan kebutuhannya.
Karena manusia menggunakan kata-kata dan kalimat berubah terus, maka dengan sendiri maknanyapun berubah. Perubahan terjadi karena manusia sebagai pemakai bahasa menginginkannya. Kadang-kadang karena belum menemukan kata baru untuk mendukung pemikirannya, maka pembicara mengubah bentuk kata yang telah ada, atau boleh jadi ia mengubah makna yang telah ada.[1]
 Suatu kata mempunyai hubungan satu sama lain dalam berbagai bentuk. Ini merupakan akibat dari kandungan komponen makna yang kompleks. Ada beberapa hubungan semantis (antar makna) yang memperlihatkan adanya persamaan, pertentangan, tumpang tindih, dan sebagainnya. Hubungan inilah yang dikenal dalam ilmu bahasa, di antaranya, sebagai sinonim, antonim, dan polisemi.
Dalam setiap bahasa, seringkali kita temui adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa lainnya dengan kata atau satuan bahasa lainnya lagi. Hubungan atau relasi kemaknaan ini mungkin salah satunya menyangkut hal kelainan makna. Oleh karena itu, pada makalah ini kami akan membahas tentang sinonim, antonim, dan polisemi dalam bahasa Arab.

AL-TARADUF WA AL-ISYTIRAK WA AL-TADHAD
A.   SINONIM (الترادف)
1)      Definisi Sinonim
      Istilah Sinonim berasal dari bahasa Yunani Konu; anoma = nama dan syn = dengan. Makna Harfiahnya adalah nama lain untuk benda yang sama.[2] Secara etimologis, istilah sinonimi (bahasa Indonesia) diserap dari bahasa Inggris yaitu synonymy. Kata synonymy sendiri diserap dari bahasa Yunani Kuno, yaitu onoma yangberarti “nama” dan syn yang berarti “dengan.”[3] Dengan kata lain sinonim ialah “nama lain untuk benda yang sama.”
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, Sinonim adalah bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk bahasa lain[4]. Sedangkan menurut Taufiqurrahman adalah dua kata atau lebih yang maknanya kurang lebih sama. Dikatakan “kurang lebih” karena memang, tidak akan ada dua buah kata yang berlainan yang maknanya persis sama. Yang sama hanya informasinya saja, sedangkan maknanya tidak persis sama.[5] Misalnya, kata jenazah, bangkai, mayat, kata-kata ini disebut bersinonim, namun kata-kata ini tidak persis sama maknanya. Buktinya, kata-kata yang bersinonim tidak bebas dipertukarkan secara bebas. Misalnya, “aku melihat bangkai anjing”, tidak bisa ditukar dengan “aku melihat jenazah anjing”
Dalam bahasa Arab, sinonim disebut dengan الترادف, menurut Ya’qub الترادف yaitu[6]:
ما اختلف لفظه واتفق معناه، أوإطلاق عدة كلمات على مدلول واحد  
Artinya: “Berbeda artinya tetapi sama lafasnya. Atau beragam lafasnya tetapi maknanya satu”.
Menurut Umar:[7]
الترادف وهو أن يدل أكثر من لفظ على معنى واحد.
 Artinya: “Sinonim adalah banyak lafaz tapi satu arti”.
Berati dapat disimpulkan bahwa sinonim (الترادف) adalah suatu kata yang berbeda arti pada satu lafaz, tapi satu makna.
2)      Penyebab Terjadinya Sinonim
Sinonim bisa terjadi antara lain, sebagai akibat adanya:
·         Pengaruh kosakata serapan (dakhil) dari bahasa asing
Misalnya,dalam bahasa Arab kontemporer dikenal kata “التّلفون” telepon yang aslinya dari bahasa Eropa dan kata “الهاتف” yang merupakan ta’rib (terjemahan ke Arab) sehingga keduan kata itu di anggap sinonim. Contoh lain, kata "التّلفزيون" sinonim dengan kata “الإذاعة المرئية ”, kata “الكمبيوتير” sinonim dengan kata “الحاسوب”, kata “ تياترو” (dari bahasa italia) sinonim dengan kata “مسرح”(drama). Sekalipun kosakata-kosakata tersebut di anggap sinonim, namun dalam beberapa konteks tidak bisa disebut sinonim. Misalnya, kata “مسرح الجريمة” (drama kejahatan) tidak bisa ditukar dengan “ تياترو الجريمة”, sebab maksud dari ‘drama kejahatan’ adalah kronologi terjadinnya kejahatan, bukan drama atau penampilan tentang kejahatan.[8]
·         Perbedaan dialek sosial (infi’aliyah)
Misalnya, kata istri bersinonim dengan kata bini. Tetapi kata istri digunakan dalam kalangan atasan sedangkan kata bini dalam kalangan bawahan. Dalam bahasa Arab, kata “مجدّد” (pembaharu) memiliki makna fositif, berkelas tinggi dan diterima di beberapa negara Arab. Akan tetapi, kata “mujaddad” tidak bisa ditukar dengan “تقديمي”atau “ثوري” walaupun ketiganya bersinonim. Sebab kata “تقديمي ” atau “ثوري ” memiliki makna yang mencerminkan seseorang yang reaksioner, pemberontak dan sebagainya, walaupun dibeberapa wilayah Arab kedua kata ini tetap digunakan.
·         Perbedaan dialek regional (lahjah iqlimiyah)
Misalnya kata handuk, bersinonim dengan kata tuala, tetapi kata tuala hanya di kenal di beberap daerah di indonesia timur saja. Dalam bahasa Arab, misalnya kata ”سيّارة نقل” (truk) hanya dikenal di Mesir, sementara di negara-negara Arab bagian teluk dan maroko lebih mengenal kata “شاحنة”. Contoh lain, istilah pom bensin, orang Mesir menyebutnya dengan kata “محطّة بنزين”,orang Sudan menyebut-nya dengan “طلمبة بنزين”dan orang Irak mengenalnya dengan بنزين خانة
·         Perbedaan dialek temporal
Misalnya, kata hulubalang bersinonim dengan kata komandan, tetapi kata hulubalang hanya cocok digunakan dalam suasana klasik saja. Contoh lain, kata “الكتّاب” bersinonim dengan “المدرسة الإبتدائيّة” sama-sama berarti sekolah dasar. Akan tetapi, isti’lah “الكتّاب” hanya dipakai pada masa lampau.
Adapun faktor-faktor penyebab banyaknya الترادف dalam bahasa Arab, Wafi menyimpulkan sebagai berikut:[9]
1.      Karena bahasa Arab (bahasa Quraisy) sangat terbuka dan respon terhadap beberapa dialek-dialek bahasa Arab disekitarnya. Dengan demikian, bahasa Arab banyak menyerap kosa-kata dialek lain yang maknanya juga sama.
2.      Karena beberapa penyusun kamus bahasa Arab tidak melakukan seleksi yang ketat dalam menulis kosa kata bahasa Arab. Oleh karena itu, banyak kosa kata bahasa lain, khususnya bahasa-bahasa rumpun semit masuk ke dalam bahasa Arab yang artinya sama.
3.      Pada hakekatnya beberapa kata yang dianggap bersinonim itu memiliki arti khusus. Namun karena ditemukan adanya kesamaan maka disebut bersinonim. Seperti kata جلس danقعد , keduanya berarti ‘duduk’. Tapi pada hakikatnya kataجلس  berarti ‘duduk dari berdiri’. Sementara قعد berarti ‘duduk dari berbaring’.
3)      Perbedaan Pandangan Mengenai Sinonim[10]
      Ulama lingusitik Arab pada abad IV ramai berselisih pendapat tentang eksistensi taraduf (sinonim) dalam bahasa Arab; Sebagian menolak sama sekali adanya taraduf, ada juga yang menyatakan adanya taraduf, dan ada orang yang berlebihan dalam memahami adanya taraduf sehingga ada di antara mereka berpendapat bahwa satu makna (substansi) bisa jadi memiliki ratusan kata sinonim untuk mengungkapkannya. Nampaknya penolakan taraduf baru muncul pada akhir abad III, tepatnya ketika Tsa’lab yang menyatakan pengingkarannya terhadap taraduf.
       Pendapat ini diikuti oleh muridnya yang bernama Ibn Faris. Karena sebelum paruh terakhir abad III H, tidak ditemui catatan ulama linguistik yang menolak taraduf.
Berikut adalah ungkapan Ibn Faris sebagaimana yang dikutip oleh al-Suyuthi dalam al-muzhir: Sesuatu diberi banyak nama yang berbeda-beda, seperti “سيف”, “مهند”, dan “حسام” (ketiganya diartikan sebagai pedang), sebenarnya yang nama adalah “سيف” dan selainnya merupakan sifat.
      Ada juga orang-orang yang berpendapat bahwa nama-nama tersebut bukan (menunjukkan pada) satu nama, dan juga bukan sifat yang bukan makna yang lain. Mereka berkata bahwasanya fi’il (kata kerja) juga demikian, misalnya kata “ذهب”, dan “انطلق” (semuanya diartikan pergi); Juga kata “قعد” dan “جلس” (keduanya diartikan duduk); Mereka berpendapat bahwa dalam kata “قعد” ada makna yang tidak terdapat pada kata “جلس”. Dan seterusnya.
Penolakan terhadap taraduf ini, terbakukan dalam ungkapan
 “ما يظن أنه من المترادفات فهو من المتبينات
(apa yang dianggap sebagai sinonim sebenarnya bukan sinonim).
Mengomentari pendapat ulama tentang ketiadaan eksistensi taraduf, al-Taj al-Subuki menyatakan bahwa memang ada orang yang mengingkari eksistensinya dalam bahasa Arab dan menganggap semua yang disangkakan sebagai taraduf sebenarnya merupakan hal yang memiliki perbedaan sesuai perbedaan yang ada pada sifat-sifatnya. Al-Subuki menganggap penolakan terhadap eksistensi taraduf dengan cara meneliti sifat-sifat yang ada pada tiap kata, merupakan sebuah upaya mengada-ada yang mencengangkan. Sementara al-Fakhr al-Razi menyatakan bahwa kemungkinan terjadinya taraduf merupakan hal yang tidak disangsikan lagi. Dan tidak sedikit ulama yang menulis buku khusus yang mengumpulkan kata-kata yang mutaradif (sinonim), seperti Ibnu Khaluwaih yang menulis buku khusus tentang kumpulan nama bagi macan dan ular.
Untuk menengahi perbedaan pendapat ini, ‘Izzuddin menyatakan bahwa ulama yang mengakui adanya taraduf melihat sisi kesamaan dalalah (maksud/substansi) dzat (yang disimbolkan dengan kata), dan orang yang menolak eksistensinya melihat perbedaan sifat yang ada tiap kata.

B.   POLISEMI (الاشتراك اللفظ)
1)      Definisi Polisemi
Secara etimologi kata polisemi (Indonesia) diadopsi dari polysemy (Inggris), sementara Polysemy diadopsi dari Bahasa Yunani: “Poly” artinya banyak atau bermacam-macam, dan “Semy” berarti arti.[11] Secara terminologis, polisemi menurut Palmer (1976: 65) di dalam Pateda, adalah: It is olso the case that same word may have a set of different meanings.[12]  Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan, polisemi adalah: “kata yang memiliki makna lebih dari satu”.[13]
 Senada dengan itu, oleh Harimurti Kridalaksana mengatakan, Polisemi ialah “Pemakaian bentuk bahasa seperti kata, frees dsb. dengan makna yang berbeda-beda, misal kata “Sumber”, bermakna: 1). Sumur, 2). Asal, 3). Tempat suatu yang banyak. Demikian juga kata “Kambing Hitam”, bisa berarti: 1). Kambing yang hitam, atau 2). Orang yang dipersalahkan.[14]
Dengan demikian, karakteristik polisemi adalah “Makna yang lebih dari satu oleh satu kata”. Misalnya kata “Orang tua” bisa berarti 1). Ayah dan Ibu, dan 2). Orang yang sudah lanjut usia (manula). Demikian jiga kata “mata yang dipakai dalam kata-kata: mata untuk melihat, mata air, mata angaran, mata angin, mata kucing, mata acara, dll. memiliki hubungan arti yang satu yaitu sesuatu yang menjadi pusat, inti atau yang mempunyai mata”.
Dalam kajian linguistik Arab, polisemi sama dengan الاشتراك اللفظ. Karena menurut Wâfi, yang dimaksud dengan الاشتراك اللفظ adalah:[15]
لِلْكَلِمَةِ الْوَاحِدَةِ عِدَّةُ مَعَانٍ تُطْلَقُ عَلىَ كُلّ منْهَا عَلىَ طَرِيْقِ الحَقِيْقَةِ لاَ الْمَجَاز.
Artinya: “Satu kata mengandung beberapa arti yang masing-masingnya dapat dipakai sebagai makna yang denotatif (hakikat) dan bukan makna konotatif (majaz).”
Kata “الخال” misalnya, bisa berarti: paman, tahi lalat di wajah, awan, dan onta yang gemuk.[16]
Yaqub, mendefisikan musytarak yaitu: “Setiap kata yang mengandung lebih dari dua makna, antara yang satu dengan yang lain tidak ada persamaan”.[17] Jika demikian halnya, maka ditemukan persamaan pengertian antara polisemi dengan الاشتراك اللفظى.
Dari defenisi di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa polisemi adalah leksem yang mengandung makna ganda. Karena kegandaan makna seperti itulah maka pendengar atau pembaca ragu-ragu menafsirkan makna leksem atau kalimat yang didengar atau yang dibacanya. Sebagai contoh kata paku. Kata ini bisa bermakna paku yang digunakan memaku pagar, peti. Atau juga bisa bermakna “sayur paku. Untuk menghindarkan kesalahpahaman, tentu kita harus melihat konteks kalimat, atau bertanya pada pembicara apakah yang ia maksudkan dengan kata yang bermakna polisemi tersebut.
2)      Penyebab Terjadinya Polisemi
Menurut Simpson (1979: 179) dan Zgusta (1971: 61) dalam Pateda, di antara penyebab terjadinya kata-kata yang bermakna polisemi adalah:
a)      Kecepatan melafalkan leksem, misalnya; /bantuan/ dan /bantuan/. Apakah ban kepunyan tuan, atau bantuan?.
b)      Faktor Gramatikal, misalnya kata /orangtua/. Kata ini bisa bermakna ayah/ibu, atau orang yang sudah tua.
c)      Faktor leksikal, yang dapat bersumber dari (i). Sebuah kata yang mengalami perubahan pemakaian dalam ujaran yang mengakibatkan munculnya makna baru. Misalnya kata makan yang biasa dihubungkan dengan kegiatan manusia atau binatang memasukkan sesuatu ke dalam perut, tetapi kini kata makan dapat digunakan pada benda tak bernyawa sehingga muncullah urutan kata makan sogok, rem tidak makan, makan angin, makan riba, dimakan api, pagar makan tanaman. (ii). Digunakan pada lingkungan/konteks yang berbeda, misalnya kata operasi, bagi seorang dokter dihubungkan dengan pekerjaan membedah bagian tubuh untuk menyelamatkan nyawa; bagi militer dikaitkan dengan kegiatan untuk melumpuhkan musuh atau mem-berantas kejahatan; dan bagi Departemen Tenaga Kerja dihubungkan dengan salah satu kegiatan yang akan atau sedang dilaksanakan. Seperti dalam kalimat: “Departemen Tenaga Kerja sedang melakukan operasi purna bhakti agar setiap perusahaan mematuhi peraturan ketenaga-kerjaan.
d)     Faktor pengaruh bahasa asing, misalnya leksem /item/, kini digunakan leksem /butir/ atau /usur/.
e)      Faktor pemakai bahasa yang ingin menghemat pengguaan kata. Maksudnya dengan satu kata, pemakai bahasa dapat mengungkapkan berbagai ide atau perasaan yang terkan-dung di dalam hatinya. Seperti kata /mesin/ yang biasanya dihubungkan dengan /mesin jahit/. Manusia kemudian membutuhkan kata yang mengacu kepada mesin yang menjalankan pesawat terbang, mobil, motor, maka mun-cullah urutan kata /mesin pesawat/ dan /mesin mobil/.
f)       Faktor pada bahasa itu sendiri yang terbuka untuk menerima perubahan, baik perubahan bentuk maupun perubahan makna. Tentu saja hal ini berhubungan faktor poin ke-5 di atas.[18]
Sementara itu, faktor-faktor lain penyebab banyaknya polisemi dalam bahasa Arab secara khusus dapat disebutkan sebagai berikut:
a)      Lebih diakibatkan oleh adanya macam-macam dialek dalam bahasa Arab tersebut. Sementara banyaknya dialek lebih diakibatkan oleh banyaknya kabilah, dan setiap kabilah memiliki dialek masing-masing. Macam-macam dialek ini dikodifikasikan dalam beberapa mu’jam, sehingga tersusunlah macam-macam kata dengan berbagai makna yang terkandung di dalamnya, bahkan satu kata dapat dipastikan mengandung lebih dari satu arti. Disinilah letak polisemi dalam bahasa Arab.
b)      Karena perkembangan fonem (bunyi) dalam Bahasa Arab, baik itu terjadi karena naqish (pengurangan), ziyadah (penambahan) maupun naql al-Harfi (pergantian huruf). Melalui proses ini banyak kata-kata yang menyatu dengan arti kata lain yang berbeda artinya. Sebagai contoh: kata “النغمةjama dari kata “النغم” berubah bunyi dengan mengganti huruf غ dengan hurufء” karena kedekatan makhraj sehingga dibaca “النأمة” (bunyi atau suara) yang dimaksudkan juga sama dengan النغمة (irama). Contoh lain adalah kata “الجذوة” (bara api) yang diartikan dengan “الجثوة” (tumpukan batu, tumpukan debu), dengan mengganti “ذ” dengan “ث" oleh karena kedekatan makhraj.
c)      Perubahan sebagian kata dari arti yang hakiki kepada arti yang metaforis, karena adanya keterkaitan arti dan seringnya dipakai arti metaforis tersebut menjadi kata hakiki. Seperti kata  عينyang artinya mata diartikan dengan الجارية (pelayan, gadis), عين diartikan dengan  الأفضل الأشياء وأحسنهاsesuatu yang paling uatama dan yang paling baik. عين juga diartikan dengan mata uang emas atau perak.”
d)     Perubahan morfologi (tashrif) yang terjadi pada dua kata yang sama bentuknya. Dari bentuk tersebut timbul arti yang bermacam-macam karena perbedaan bentuk masdar-nya. Contoh kata وجد الشيئ وجودا أو وجدانا karena mashdar-nya وجودا أو وجدانا , maka diartikanmenemukan. Sementara “وجد ” yang masdar-nya موجودة maka diartikan dengan “marah”. Sedangkan fiil yang sama dengan mashdar-nya وجودا diartikan dengan تفانى في حبه diartikan dengan “kehilangan/putus cinta”.[19]
Sebab-sebab terjadinya lafadz musytarak dalam bahasa Arab sangatlah banyak sekali, namun ulama’ ushul telah merumuskan sebab-sebab yang paling mempengaruhi antara lain sebagai berikut :
a)      Terjadinya perbedaan kabilah-kabilah Arab di dalam menggunakan suatu kata untuk menunjukkan terhadap satu makna. Seperti perbedaan dalam pemakain kata يد, dalam satu kabilah, kata ini digunakan menunjukkan arti hasta secara sempurna(كله ذراع). Satu kabilah untuk menunjukkan (الساعد والكف) Sedangkan kabilah yang lain untuk menunjukkan khusus telapak tangan.
b)      Terjadinya perkembangan perluasan makna satu lafadz dari makna asal, seperti lafadz فتن yang asalnya bermaknaالمعدن فى النار  (logam/barang tambang dalam api) selanjutnya digunakan untuk menunjukkan artiالاضطهاد فى الدين  (penindasan agama) kemudian bermakna الوقوع فى الضلال (terjerumus dalam kesesatan).
c)      Terjadinya makna yang berkisaran/keragu-raguaan تردد antara makna hakiki dan makna istilah urfi. Sehingga terjadi perubahan arti satu kata dari arti bahasa kedalam arti istilah, seperti kata-kata yang digunakan dalam istilah syara’. Seperti lafadz الصلاة yang dalam arti bahasa bermakna do’a, kemudian dalam istilah syara’ digunakan untuk menunjukkan ibadah tertentu yang telah kita maklumi.

C.   ANTONIM (التضاد)
1)      Definisi Antonim
Secara harfiyah, antonimi merupakan kata serapan dari bahasa Inggris, yaitu antonymy. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan antonim adalah kata yang berlawanan makna dengan kata lain.[20] Menurut Verhaar, kata antonymy sendiri berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu: “anoma” artinya nama dan “anti” artinya “melawan.‟ Jadi arti harfiahnya adalah “Nama lain untuk benda lain.”[21] Atau lebih sering disebut dengan lawan kata.
Secara Kridalaksana mendefinisikan antonim sebagai oposisi makna dalam pasangan leksikal yang dapat dijenjangkan.[22] Yaitu beberapa pasangan kata yang mempunyai arti yang berlawanan. Dalam bahasa Indonesia kita kenal kata-kata besar-kecil, tinggi-rendah, jauh-dekat, rajin-malas, takut-berani, gembira-sedih, sakit-senang, panas-dingin, dll.
Dalam kajian linguistik Arab, antonim sama dengan التضاد. Karena menurut Wâfi, yang dimaksud dengan التضاد  adalah:[23]
التضاد هو أن يطلق اللفظ على المعنى وضده
Artinya: “Satu kata mengandung dua makna yang kontradiktif
Sedangkan menurut Taufiqurrahman adalah:[24]
عبا رة عن وجود كلمتين فاكثر لها دلالة متضادة
Artinya: “dua buah kata atau lebih yang maknanya ‘dianggap’ berlawanan
Disebut dianggap berlawanan karena sifat berlawanan dari dua kata yang berantonim ini sangat relatif. Misalnya kata الجون yakni kata berlawanan yang maknanya putih dan hitam, kataالجلل maknanya yakni yang terhormat dan yang hina, الصارخ  yang berarti yang minta tolong dan yang menolong, المسجور  yang artinya penuh dan kosong, kata البسل  yang maknanya halal dan haram, dan lain-lain sebagainya.
2)      Pembentukan Antonim dalam Bahasa Arab
Haidar menyebutkan terdapat banyak hal yang menyebabkan terjadinya antonim. Hal-hal tersebut kemudian diklasifikannya ke dalam tiga faktor besar:[25]
1.      Faktor Eskternal
·      Perbedaan dialek, misalnya kata السدفة yang dapat bermakna الظلمة ‘gelap’dan الضوء terang’.
·      Pinjaman bahasa asing, misalnya kata جلل yang bermakna كريم ‘mulia’ dan حقير ‘hina’.
·      Motivasi sosial, misalnya sebagai kata yang menunjukkan rasa optimistime, pesimisme, ejekan, atau bahkan juga sebagai tata krama.
2.      Faktor Internal
·      Motivasi relasi makna, misalnya sebagai kata yang menunjukkan perluasan makna, majas, penegasan, atau pun untuk menggeneralisasikan makna aslinya.
·      Motivasi relasi lafaz, misalnya perbedaan akar kata, substitusi konsonan akar kata, atau pun perubahan tempat konsonan akar kata.
3.      Faktor Historis
·      Peninggalan masa lalu, seperti yang diungkapkan Giese kontranimi merupakan ungkapan manusia yang berupa pemikiran orang-orang di masa lampau.
·      Keadaan asasi kata, maksudnya adalah ungkapan yang menjadi kontranimi sejak awal memang sudah begitu adanya. Namun, pendapat demikian ditentang oleh Ibnu Sayyid yang mengatakan bahwa tidak dibenarkan memberikan dua makna bertentangan pada satu kata dalam waktu yang bersamaan.
3)      Perbedaan Pandangan Ulama Mengenai Antonim[26]
Al-Tadhad merupakan jenis khusus lafadz Musytarak al-Lafzhi yang telah dipelajari sebelumnya. Oleh sebab itu, terjadilah pertentangan oleh para ulama-ulama Arab dalam menolak dan menerima Musytarak al-Lafzhi.
Setelah terjadi pertentangan ulama-ulama Arab, mereka mengumpulkan berbagai contoh. Adapun ulama yang terkenal dalam menolak mutadhadh diantaranya adalah Ibnu Darastawayhi, yang mengumpulkan antonim dan menulisnya dalam sebuah buku khusus yang dinamakan “ابطال اتضاد”. Diriwayatkan oleh Ibnu Sayyidah dalam bukunya “al-mukhassash” tentang pengingkaran itdhadh yang telah dibicarakan oleh para pakar bahasa dan menjadikan satu lafadz dari sesuatu dan lawannya.
Sedangkan kelompok lain berpendapat tentang banyaknya antonim, serta memberikan contohnya. Di antara tokoh-tokohnya adalah al-Khalil, Sibawayhi, Abu Ubaidah, Abu Zaid al-Anshori, Ibnu Faris, Ibnu Sayyidah, as-Tsa’labi, al-Mabrud, dan Suyuthi. Menurut Suyuthi dan Ibnu Sayyidah jumlah antonim yakni tidak lebih dari 100 lafadz. Akan tetapi, ada beberapa orang dari kelompok ini telah memahami tentang batasan-batasan uraian antonim serta contohnya. Mereka adalah Qutrub, al-Asma’iy, Abu Bakar bin Ambar, at-Tauzi, al-Birkaat bin Ambar dan Ibnu Dahan. Di antara kitab terkenal adalah kitab ithdad karangan Ibnu Ambar yang berpendapat bahwa ithdad lebih dari 400 lafadz.
Masing-masing kelompok berusaha untuk mempertahankan pendapatnya. Kelompok pertama yang menolak adanya itdhad tidak memperbolehkan untuk mengkaji beberapa contoh ithdad, sampai Ibnu Durusturiyyah seorang yang menolak adanya ithdad terpaksa mengakui adanya kata-kata asing dalam lafadz-lafadz tersebut. Beliau berkata: “hanya bahasalah yang memiliki makna yang berlawanan, walaupun memperbolehkan satu lafadz memiliki dua makna yang berbeda atau salah satu di antaranya merupakan antonim dari kata yang lain.”
Adapun kelompok yang lainnya mengatakan bahwa belum banyak lafadz idhdhad dalam bahasa arab. Oleh sebab itu banyak contoh-contoh yang diperkirakan kelompok ini merupakan bagian dari idhdhad yang memungkinkan dapat diuaraikan dalam bentuk lain. Misalnya penggunaan lafadz yang mujarrod at-tafaa’ul, seperti kata المفازة  (kemenangan, keselamatan) berlawanan dengan kataالهلكة  (kematian, kebinasaan), kata السليم  (yang tidak bercacat, sempurna) berlawanan dengan kataالملدوغ  (yang ada cacatnya), dan kataالريان (minuman) berlawanan dengan النهل  (yang minum).
Selain itu kata idhdhad juga telah digunakan sebagai kata-kata ejekan atau menghina lawan bicara. Seperti kata العاقل  (yang pintar) berlawanan dengan kata الأحمق  (yang bodoh),  الأبيض(putih) berlawanan dengan kata  الأسود(hitam), الملان  (penuh) berlawanan dengan kata  الفراغ (kosong), المولى  (tuan) berlawanan dengan kata العبد  (budak), البصر  (yang bisa melihat) berlawanan dengan kata الأعمى  (yang buta), dan lain sebagainya.
Ada juga idhdhad yang lahir karena perpindahan makna aslinya ke makna majazi yang digunakan dalam balaghah. Sebagaimana firman Allah SWT. نسوا الله فنسيهم  Kata kerja kedua tidak menggunakan makna aslinya, karena Allah tidak mungkin memiliki sifat pelupa akan tetapi bermakna الأهمل  (membiarkan) dengan meninggalkan maksudnya dengan jalan isti’aroh. Isti’aroh ini sangat bagus untuk memberikan kepastian dalam menyamakan dua lafadz, dan menyamakan antara balasan dan perbuatan.
Adupula jenis antonim yang menggunakan kalimat asli dan mengambil makna umumnya yang diikuti oleh dua antonim. Inilah yang dikatakan oleh ulama sebagai musytarok maknawiy. Misalnya kataالقرء  yang artinya haid dan suci, juga kata الزوج  (pernikahan) yang menunjukan makna laki-laki dan perempuan,الصريم  yang menunjukan makna siang dan malam, dan sebagainya. Serta ada antonim yang digunakan dari segi tashrif, misalnya kata  الممتازdan kata  مرت.



PENUTUP
Dari penjelasan makalah di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sinonim (الترادف) adalah suatu kata yang berbeda arti pada satu lafaz, tapi satu makna.  Beberapa faktor penyebab terjadinya sinonim antara lain Pengaruh kosakata serapan (dakhil) dari bahasa asing, Perbedaan dialek sosial (infi’aliyah), Perbedaan dialek regional (lahjah iqlimiyah), dan Perbedaan dialek temporal .Sebagian menolak sama sekali adanya taraduf, ada juga yang menyatakan adanya taraduf, dan ada orang yang berlebihan dalam memahami adanya taraduf sehingga ada di antara mereka berpendapat bahwa satu makna (substansi) bisa jadi memiliki ratusan kata sinonim untuk mengungkapkannya. ‘Izzuddin menyatakan bahwa ulama yang mengakui adanya taraduf melihat sisi kesamaan dalalah (maksud/substansi) dzat (yang disimbolkan dengan kata), dan orang yang menolak eksistensinya melihat perbedaan sifat yang ada tiap kata.
Sementara polisemi yakni Satu kata mengandung beberapa arti yang masing-masingnya dapat dipakai sebagai makna yang denotatif (hakikat) dan bukan makna konotatif (majaz. Faktor yang memengaruhinya antara lain Terjadinya perbedaan kabilah-kabilah Arab di dalam menggunakan suatu kata untuk menunjukkan terhadap satu makna, Terjadinya perkembangan perluasan makna satu lafadz dari makna asal, Terjadinya makna yang berkisaran/keragu-raguaan, Perubahan morfologi (tashrif) yang terjadi pada dua kata yang sama bentuknya Perubahan sebagian kata dari arti yang hakiki kepada arti yang metaforis, Karena perkembangan fonem (bunyi) dalam Bahasa Arab, dan adanya macam-macam dialek dalam bahasa Arab tersebut
Adapun antonim adalah Satu kata mengandung dua makna yang kontradiktif.Hal ini disebabkan  Perbedaan dialek, Pinjaman bahasa asing, Motivasi sosial, Motivasi relasi makna, dan Motivasi relasi lafaz. Al-Tadhad merupakan jenis khusus lafadz Musytarak al-Lafzhi yang telah dipelajari sebelumnya. Oleh sebab itu, terjadilah pertentangan oleh para ulama-ulama Arab dalam menolak dan menerima Musytarak al-Lafzhi. Kelompok pertama yang menolak adanya itdhad tidak memperbolehkan untuk mengkaji beberapa contoh ithdad. Adapun kelompok yang lainnya mengatakan bahwa belum banyak lafadz idhdhad dalam bahasa arab.


DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan Nasional Jakarta. 2008. Kamus Bahasa Indonesia Jakarta: Pusat Bahasa.
Djajasudarma, Fatimah.  1993. Semantik1 Pengantar ke Arah Ilmu Makna, Bandung: Eresco.
Haidar, Farid ‘Awid, 2005. ‘Ilm al-Dalalah. Kairo: Maktabah al-Adab.
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguisti. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
Mujâhid, Abdul Karîm. Al-Dilâlah al-Lughawiyah ‘Inda al-‘Arab, Dâr al-Dhiyâ Li An-Nasr wa Al-Tauzî. T.Th
Pateda, Mansoer. 2000. Semantik Leksikal, Jakarta: PT Rineka Cipta.
Taufiqurrochman. 2008. Leksikologi Bahasa Arab. Malang: UIN – Malang Press.
Umar, Ahmad Mukhar. 1982. ‘Ilm al-Dilâlah, (Kuwait: Maktabah Dâr al-Arabiyah li al-Nasr wa al-Tauzî T.Th
Verhaar, J. W. M., 1989. Pengantar Lingguistik Cet. Ke-12. Yogyakarta: Gajah Mada Universty Press.
Wâfi, Âli Abd. al-Wâhid, 1962Fiqhu al-Lugah, Kairo: (Lajnah al-Bayân Al-Arabiyah,
Yaqûb, Imil Badi’. Fiqh al-Lughah Wa Khashâishuhâ. Beirût: Dâr al-Tsaqâfah al- Islâmiyah, T.Th.
http://andiwowo.blogspot.com/2008_11_01_archive.html
http://suanti-mamonto.blogspot.com/2012/06/blog-post_6991.html




[1] Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, (Jakarta, PT Rineka Cipta, 2000) h. 159
[2] Ibid  h. 222
[3] Fatimah  Djajasudarma,  Semantik1  Pengantar  ke  Arah  Ilmu Makna, (Bandung: Eresco, 1993), Cet. I, h. 42.
[4] Departemen Pendidikan Nasional Jakarta, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008). h. 1464
[5] Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab, (Malang: UIN – Malang press, 2008) h. 73.
[6] Imil Badi Yaqûb, Fiqh al-Lughah Wa Khashâishuhâ, (Bairût: Dâr al-Tsaqâfah al- Islâmiyah, T.Th.). h. 180-181
[7] Ahmad Mukhar Umar, ‘Ilm al-Dilâlah, (Kuwait: Maktabah Dâr al-„Arabiyah li al-Nasr wa al-Tauzî, 1982, cet, ke-1, h.145
[8] Hilmy khalil, Op.Cit.Hal 74
[9] Âli Abd. al-Wâhid Wâfi, Fiqhu al-Lugah, (Kairo:Lajnah al-Bayân Al-Arabiyah, 1962), h. 166-168.
[10] http://andiwowo.blogspot.com/2008_11_01_archive.html
[11] Abdul Karîm Mujâhid, Al-Dilâlah al-Lughawiyah ‘Inda al-‘Arab, (T.Tp: Dâr al-Dhiyâ‟ Li An-Nasr wa Al-Tauzî‟, T.Th.), h.173
[12] Mansoer Pateda, Op.Cit., h. 213.
[13] Departemen Pendidikan Nasional Jakarta, Op.Cit., h. 1200
[14] Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), Cet. Ke-5, h.76.
[15] Âli Abd. al-Wâhid Wâfi, Fiqhu al-Lugah, Kairo: (Lajnah al-Bayân Al-Arabiyah, 1962), h. 183.
[16] Ibid, h.183
[17] Imil BadiYaqûb,  Op.Cit., h. 178

[18] Mansoer Pateda, Op.Cit., h. 214
[19] Imil Badi Yaqûb, Op.Cit., h. 180-181

[20] Departemen Pendidikan Nasional Jakarta, Op.Cit., h. 78
[21] J. W. M. Verhaar, Pengantar Linguistik, (Yogyakarta: Gajah Mada Universty Press, 1989), Cet. Ke-12, h. 133.
[22] Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), Cet. Ke-5, h. 15.
[23] Âli Abd. al-Wâhid Wâfi, Op.Cit., h. 148.
[24] Taufiqurrochman, Op.Cit., h. 73.
[25] Farid ‘Awid Haidar, ‘Ilm al-Dalalah, (Kairo: Maktabah al-Adab, 2005) h. 152-156
[26] http://suanti-mamonto.blogspot.com/2012/06/blog-post_6991.html

Komentar

  1. Maaf mbak yang pengertian tadhad menurut wafi itu ada di hal 148 bukan di hal 186, tapi syukran itu blognya manfaat banget.. :) ^-^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oke, terima kasih ya... Nanti coba diperbarui lagi. :)

      Hapus
  2. Postingannya sangat bermanfaat sekali mas Jazakallahu khairan katsiiran :)

    BalasHapus
  3. Dalam bahasa Arab, sinonim disebut dengan الترادف, menurut Ya’qub الترادف yaitu[6]:
    ما اختلف لفظه واتفق معناه، أوإطلاق عدة كلمات على مدلول واحد
    Artinya: “Berbeda artinya tetapi sama lafasnya. Atau beragam lafasnya tetapi maknanya satu”.
    Menurut Umar:[7]

    Apakah terjemahan dari ta'rif taroduf diatas sudah benar? Apakah tidak terbalik terjemahan nya?

    BalasHapus

Posting Komentar

Comments:

Postingan populer dari blog ini

BAGAIMANA MEMILIH DAN MENYUSUN BAHAN AJAR