Arah (Penelitian) Pendidikan Agama Islam (PAI) di Indonesia
Ada dua
belas penyebab mengapa PAI di sekolah kurang berhasil. Semuanya layak untuk
menjadi bahan tesis dan disertasi. Kalau dikelola dengan baik bisa menghasilkan
ratusan judul dari dua belas tema ini, sebagian memang berasal dari penelitian
tesis dan disertasi yang saya bimbing. Ini menjadi bahan perkuliahan enam belas
pertemuan.
Berapa
besar kontribusi guru agama Islam bagi keberagamaan murid SD sampai SMA, ada penelitian yang mengatakan hanya 12-14%. Penelitian yang
logis mengatakan hanya 20% paling tinggi kontribusi guru tersebut. Cara
menelitinya ditanyakan Anda bisa
Adzan dari mana? Dari Masjid di dekat rumah saya, bukan dari guru agama. Anda
bisa do’a qunut dari mana?dari pesantren kilat. Yang dari guru agama di mana?
Ini
berarti di sekolah masih punya persoalan besar. Gejala utamanya sekarang
kelihatan sekali, tawuran, ‘minum’ bahkan membuat “film”. Yang lebih menyusahkan kita
mereka masih sekolah mereka sudah licik. Ini bisa untuk meramal masa depan
Indonesia. Di mana titik kelemahan itu, yang akan saya utarakan seperti bagian
teknis. Mengapa karena mudah disingkat pembicaraannya dan dan mudah anda
menangkapnya jika dijadikan tema untuk penelitian Tesis.
Kegagalan
PAI di sekolah yaitu (1)
kurangnya dukungan orangtua murid; (2) PAI
kurang diminati murid; (3) kurikulum
PAI terlalu luas dan teralu sering berulang-ulang; (4) pelajaran Agama dianggap
kurang berguna bagi kehidupan material; (5) tidak
di-UN-kan; (6) kurangnya peneladanan dari
pihak guru; (7) kurangnya pembiasaan dari
pihak sekolah; (8) penampilan guru agama kurang
menarik; (9) budaya global; (10) spiritualisme melawan
materialisme; (11) PAI tidak menyatu dalam sistem; (12) PAI tidak dijadikan fokus pendidikan.
Saya
jelaskan terlebih dulu nomor 10. Jadi, Suatu ketika Alm. Cak Nur memberikan ide
di UNISBA judulnya spiritualisme melawan materialism. Sebetulnya
dakwah/pendidikan agama merupakan proses spiritualisasi, pengalaman nyata
upahnya surga, menjadi berakhlak mulia sesuatu yang unmeasurable, untestable.
Adapun sekolah dengan kurikulumnya melakukan proses materialism. Matematika
terukur, agitatif, atau sejarah/sains, dipenuhi dengan program kurikulum baik
material maupun proses kurikulumnya mengarahkan orang ke testable, measurable,
kuantitatif.
Jadi
guru agama melawan sekian guru dan mata pelajaran guru dengan programnya
masing-masing. Itu semua mengarahkan orang berpikir kuantitatif butuh empirik, terukur, per-tes per-monitor. Sementara guru agama
mengajarkan yang ghaib, unmeasurable. Saya sangat mengagumi orang yang mau mejadi
guru agama karena tahu betapa sulitnya. Ilmu teori
konsep paradigm yang mudah diajarkan yaitu ilmu eksakta. Ilmu social lebih
sulit, juga humaniora, filsafat, etika, dan tersulit agama. Saya tahu ini di
barat bahwa orang yang mendalami ini bukan dari orang perguruan tinggi tapi
dari gereja-gereja. Buku Psychology of Religion itu
produksi pastur-pastur. Negara sekuler sudah menjadi budaya, orang barat jangan
ditanya agamanya, status perkawinannya, anaknya, maka tersingguglah ia. Inilah
keterangan dari nomor 10. Yang diharapkan adalah analisisnya menghasilkan bagaimana jalan keluarnya. Basis
filsafat dan psikologi-nya agak kuat. Penelitian tahun 1975 Corlow mengatakan
setiap orang membawa insting beragama. Daniel Golman tahun 1997 menerbitkan kecerdasan
emosional. Lalu lahir buku Ian
Marshall kecerdasan spiritual. Muncullah Perenialisme. Orang barat mengatakan
al-Ghazali-lah tokoh perenial paling hebat dari dunia Islam.
Perenialisme
ini gejala-gejala penting dalam pemikiran global, Post Modern crucify dalam
bentuk perenialisme yang mengatakan bahwa kebanaran bisa datang dari rasio alam empiris dan warisan lama yakni kitab suci. Orang barat berlomba-lomba masuk
Islam lewat tarekat. Hisham Kabbani yang berpusat di London, sseiap hari ribuan
orang memiinta masuk tarekat dia. Jadi bukan materialism bukan gila
materialistis, namun dalam bentuk paradigm pola pikir.
Lalu
yang menjadi kegagalan PAI yaitu budaya Global. Samppai sekarang saya belum
mendengar respon dari kementrian Agama, ahli-ahli pendidikan agama bagaimana
PAI di sekolah memberikan filter yang kuat sehingga budaya global tidak lolos
semua mempengaruhi perkembangan kepribadian murid. Perkembangan dekadensi
akhlak itu terjadi. Tokoh-tokoh seperti saya maupun Kementrian Agam diam. Gerakan
yang bersifat akademik sudah tidak ada porsinya. Kalau Hidu gerakannya adalah
banyak semedi, mereka mengatakan inti agama Hindu itu Tafakkur. Kalau Islam
berdzikir, teknik dzikir sudah yidak jelas. Semua oran punya tori dzikir,
mereka berasal dari kelompok dzikir namun kelakuannya mengcewakan. Untuk amannya
kita belum merespon pengaruh budaya global ini yang sebetulnya dalam buku
Culture Shock tatkala gadget tersebar luas akan terjadi kegoncangan budaya. Ini
sebetulnya 5-10 tesis bisa jadi judul, semakin fokus semakin bagus dan semakin
sulit. Misalnya apa perbedaan kejiwaan dalam tarawih 11 & 23 rakaat, situasi
kebatinannya. Penelitian harus dimulai dari hal- hal yang terkecil.
Yang ke-12,
apa salahnya Indonesia ini. Menurut para ahli Indonesia itu harusnya sudah
makmur, karena syarat-syarat makmur telah ada di dalam negeri kita. Tanah air,
kesuburan, penduduk, warisan budaya, tolong-menolong, lemah lembut, bertegur sapa,
musyawarah. Sebagai ahli pendidikan, saya mengatakan ada kesalahan pada system
pendidikan nasional. Di buku filsafat pendidikan Islami, percikan pemikiran
saya tentang pendidikan nasional dan islami.Dalam Pancasila yang “core”
itu sila pertama, gambar bintang di tengah. Founding Fathers lebih
brilian ketimbang kita. Pada nilai sila itu harus turun ke konstitusi.
Preambule isinya Pancasila, tidak memiliki pasal. Core itu maushuf yang
lainnya shifat. Ketika
konstitusi turun ke Undang-undang pendidikan maka hilang. Tujuan pendidikan
Nasional tertulis menghasilkan manusia Indonesia yang cerdas, seharusnya yang
beriman dan bertaqwa. Selanjutnya Berbudi luhur, berpengetahuan,
berketerampilan, mandiri, berdaya saing.
Kita
sudah enam kali berganti UU Pendidikan, pertama UU Pendidikan tahun 1947 berlaku 1 Januari
1948, kedua UU Pendidikan tahun 1950, ketiga UU pendidikan tahun 1954, keempat
Tap MPR Tahun 1968, kelima UU Pendidikan no. 82 tahun 1989, terakhir UU
Pendidikan tahun 2003 sekarang. Memang falsafah itu berubah, menghasilkan
manusia yang berbudi luhur itu mausuf. Fokus kita manusia cerdas, akhirnya
semua guru kita menggarap kecerdasan. Buktinya perlombaan matematika, robot
kita selalu menang. Harusnya yang menjadi fokus itu Imtaq mausufnya.
Waktu
membuat UU tahun 2003, saya membantu Mendiknas membuat jawaban ke pemerintah
waktu uji khalayak. Saya menyumbang makalah ke DPR. Tujuan pendidikan nasional
manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa yang cerdas, terampil,
berpengetahuan, hampir lolos. Disitulah saya tahu memang ada yang tidak senang
Indonesia semakin beragama. Mereka minta diubah. Karena itu keputusan DPR kita
ikut saja. Dan saya mengatakan pendidikan Indonesia akan tetap bahkan semakin
meluncur.
Ilmu
pendidikan adalah ilmu yang aneh, suatu ketika seorang menjadi guru besar minta
diusulkan oleh saya karena untuk menjadi guru besar harus diuslkan tiga guru
besar senior. Anda tahu ilmu pendidikan adalah ilmu yang tidak ada keinginannya.
Ada rumah tangga sakinah lihat saja pendidikannya, dulu dia kaaya raya kok
sekarang meleset karena pendidikannya. Apapun anda sebut di masyarakat memang bisa dikembalikan ke ilmu pendidikan. Jangan merasa saya ahli pendidikan, tapi saya
tahu agak banyak tentang pendidikan tapi lebih banyak lagi yang tidak saya
pahami.
Dispakati
oleh para ahli, kalau ingin perbaiki Negara perbaikilah pendidikannya. Kata
ahli politik tidak cukup hanya dengan itu, perbaiki system politiknya. Namun
politik itu masuk dalam kurikulum pendidikan. Penegakan hukum juga menyangkut
pendidikan. Jadi kalau sekarang Negara kita begini, bukannya maju sampai
dikatakan ciri-ciri Negara gagal, belum ada perubahan-perubahan kecuali gerakan
KPK walaupun orang tidak yakin KPK bisa menghilangkan korupsi, karena korupsi
akan berubah bentuk. Dulu pakai transfer sekarang kontan, Uang 5M dikatakan 5
ekor kerbau, jadi penegak hukum hebat orang licik pun semakin hebat. Korupsi
ini sudah merata tidak hanya pejabat tinggi.
Fokus
mulai terlihat di Madrasah. Waktu ulang tahun Kanwil Jawa Barat saya diminta
menerangkan salah satu pasal di UU Pendidikan tahun 1989 Madrasah ialah sekolah umum bercivitas agama
Islam, inilah sekolah umum yang terbaik untuk umat Muslim. Kalau madrasah
dikelola dengan baik, SD SMP SMA kehabisan murid. Bukti itu saya temukan di
Pandeglang Labuan, beberapa tahun lalu SD negeri tidak kebagian murid tapi
menumpuk di MI. Di Padang, sebelum orang ingin mendaftar di SMA Negeri,
terlebih dulu ke Madrasah Aliyah yang bagus, biasanya swasta. Tiga universitas terbaik yaitu UMM Malang,
UMY Yogyakarta, ketiga UII. UGM, ITB tidak masuk, saya tahu ciri universitas
bagus. Di Amerika most competive itu swasta, kalau mau sekolah bagus
pilih swasta tapi ada cirinya, yaitu
mahal. Muhammadiyah misalnya sekolahnya semakin bagus, tapi semakin mahal
memang. NU tidak punya sekolah bagus, tapi tokoh NU yang buka yayasan banyak
yang sekolahnya bagus, seperti di MA terbaik di Sidoarjo namanya Yayasan Amanatul
Ummah. Manajemennya masih konvensional tapi lumayan.
Tidak
dijadikan fokus ini nanti merata pendidikan di rumah tangga anda untuk anak
cucu itu fokusnya pendidikan agama sesuai amanat oran g yunani 600 tahun sebelum
masehi, inti pendidikan itu pendidikan kepribadian yakni akhlak. TK, SD, SMP,
SMA kurikulumnya cukup satu, pelajarannya akhlak itu akan lebih bagus ketimbang
kurikulum yang sekarang. Kalau akhlak sudah bagus, mudah yang lainnya. Ketika
khutbah hubungkanlah dengan hadits: “Inna ma bu’itstu li utmmima makarimal
akhlaq” khutbah anda akan dipuji. Karena ini
ajaran agama Islam adalah akhlak, yang berguna bagi masyarakat itu bukannya
shala, puasa haji anda, tapi akhlak anda. Zakat anda berguna untuk orang iskin
tapi akhlak anda berguna untuk seluruhnya.
Waktu
saya menguji di UPI ada dosen Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah
Purwokerto bikin disertasi melihat
gejala anak yang pintar Matematik itu akhlaknya bagus. Sampelnya tiga SMP
dengan random. Tapi saya mintatolong teliti lagi tiga SMP dengan random. Ini
akan sering saya pakai. Saya mengambil dari Imam Syafi’I betanya kepada Imam
Waqi’ tentang jeleknya hafalan saya. Kata Imam Waqi tinggalkan maksiat setelah
itu ia cepat menghafal. Sudah saya dakwahkan kemana-mana hingga ke Malaysia
bahwa Akhlak itu akan menyebabkan prestasi akademik tinggi. Akhirnya promotor
dpat ia meneliti tiga SMP lagi dan hasilnya menakjubkan; tetap mendukung.
Kesimpulannya jadi teori, akhlak yang bagus menyebabkan pelajaran matematika tinggi. Kalau matematika
tinggi itu indicator pelajaran apapun kecuali seni dan olahraga akan tinggi. Akibat
akhlak mulia tidak jadi fokus malah kecerdasan akhirnya orang Indonesia itu
cerdas. Cerdas sekali korupsi.
Pelajaran agama di sekolah tidak menjadi
komponen sistem. Tidak mungkin SMA tanpa matematika, IPS karena semua itu
komponen sistem, tapi mungkin bila SMA tanpa agama. Agama bukan komponen
pendidikan, jadi boleh ada boleh tidak. Pada zaman PKI pendidikan agama itu
fakultatif, tidak wajib, bersifat pilihan, boleh memilih salah satu bidang ilmu
yg sesuai. Jadi ada kurikulum sekuler, fakultatif. Agama itu bukan komponen
sistem. Jadi pendidikan Agama digani menjadi pendidika akhlak saja, nyatanya
hanya beberapa persen. Nyatanya agama banyak menimbulkan masalah ketimbang
menyelesaikan masalah agama waktu itu pangkal masalah. Kalau mengganti
pendidikan agama menjadi pendidikan akhlak berarti mengubah pancasila. Dari 6
agama-agama hanya Islam yang teori kurikulumnya tidak sekuler. Hanya karena ada
pancasila maka masih ada pendidikan agama di sekolah.Di sini saya memuji pihak
mempertahankan Preambule saat UUD di amandemen karena Pancasila ada di situ.
Kembali
ke nomor 1. Dukungan orang tua.
Pendidikan agama di madrsah sudah bagus. Yang perlu dibereskan pendidikan agama
di sekolah. Kenyataannya, ketika ada PR Matematika anak ditanya PR nya
bagaimana, ketika pelajaran agama PR nya gampang lah. Tapi jika ditanya, Bu,
penting mana anak tidak nakal atau anak intar, jawabnya penting tidak nakal. Ini
problem di satu pihak mereka membuktikan di
sisi lain mereka menye[elekan. Untuk dijadikan tesi, bagus untuk dicarikan
solusi Bagaimana meningkatkan dukungan orangtua murid. Teori kasarnya
sebetulnya dari penelitian keperluan orangtua murid anak belajar agama agar
anak tidak nakal, bukan untuk shalat, kenapa karena orangtuanyapun tidak
shalat, tapi orangtua tetap ingin anak tidak nakal karena punya empat
kelemahan. Pertama kesehatan fisik dan mentlnya terancam. Sesuatu hal yang
orangtua tidak akan senang.Kedua prestasi akademik anak akan menurun. Semakin
nakal anak, semakin merah warna raportnya. Ketiga anak nakal itu biayannya
mahal, karena saya sering dimintai telepon tolong dibebaskan. Keempat anak
nakal membuat rasa malu pada oranguanya. Orangtua nakalpun tak mau dibilang
nakal.Khutbah kita terlalu banyak takwanya. Coba agak ekstrem yang tidak
mainstream. Bergerak dari sini orangtuua itu ingin anak akhlaknya bagus akan
kuat bila ada dasar iman. Iman perlu pelatihan/riyadhah shalat zakat puasa
wirid. Jangan hanya diambil yang ujung,
itu ada fondasinya tengahnya ujunngnya. Yang dimaunya ujungnya saja. Jadi kurangnya dukungan orangta ini
bisa, diatur.
Lantas
kita ke nomor empat. pelajaran Agama dianggap kurang berguna bagi kehidupan
material. Bisakah cari uang dengan agama? Jawabannya tidak, karena diajarkan Lillaahi
ta’aala. Contoh lain; mengapa orang datang ke masjid cepat keluar uangnya
namun kalau untuk membangun sekolah yang bagus susah. Ternyata agama
ditafsirkan kurang berguna pada kehidupan material. Orang lebih
Memilih berlomba untuk haji berulang, padahal bid’ah bukan sunnah.
Bagaimana jika anda jatahkan haji tersebut untuk memberi beasiswa untuk dua
orang. Orang cerdas itu dia bukan serba bisa tapi bisa menyelesaikan masalah.
Seperti pandaagan orang barat mana da wanita mau dipoligami, kata Tuhan ada.
Yang
kedua kurang diminati murid. Ini dari disertasi, tesi, penelitian sendiri
misalnya saya melakukan pelatihan guru, maka saya bisa meneliti. penelitian. Tidak hanya penyebab ini saja, bisa jadi ada penyebab
penyebab lain. Yang terpenting dari manusia yaitu akhlak bukan statementology
bukan bisnis. Sekurang-kurangnya inilah pandangan Islam. PAI kurang berguna
bagi kehidupan material. Kalau ilmu umum jelas sekali, kursus montir-komputer
nanti bikin bengkel buka computer, kursus adzan, anda jadi panitianya mal
mendapat honor. Saya meski pension, pendapatan hilang 35% tapi saya tetap dapat
honor di mana-mana karena keahlian saya di pendidikan. Kalau anda ahli jampe
bertahun-tahun masih tinggi bayarannya. Agama tak ada di sana. Sehingga anak
yang udah didekati materialism untuk apa jadi anti agama. Apalagi filsafat
susah dipahami susah diajarkan. Di UIN tafsir hadits 5 orang dibuka. Masa IAIN
tidak ada jurusan Tafsir Hadits.
Tidak di
UN kan, apakah jika Pendidikan Agama di-UN-kan maka akan maju?
Belum tentu. Sebab tujuan akhir agama itu keberagamaan,
Nabipun tidak memerintahkan
tahu agama tapi beragama artinya to be religious, maka taksonomi bloom yang
dipakai guru PAI learning to know, learning to do, learning to be. Tahu shalat,
tahu mengerjakan shalat, jadi peshalat. Jadi peshalat inilah yang menjadi
tujuan akhir PAI, apakah bisa diujikan secara massal. Bisa tapi dengan teknik
tertentu. Biasanya yang menilai guruny lalu dimasukkan nilai ke negara. Guru
agama diminta menilai secara jujur, bila perlu disumpah, tentu tidak akan
terlalu kogniitif, kadang tidak objektif. Saya masih 50-50 tapi suara di
masyarakat apakah keberagamaannya meningkat, bukan minat. Itu gampang,
sekarangpun sudah berhasil. Tapi keberagamaannya, religiusitasnya yang di nilai
itu berbeda dengan pengetahuan lain.
Salah satu kekurangan lagi, yaitu keteladanan guru.
Akhlak itu ialah perbuatan yang dilakukan dengan mudah, La hajaatan ila
fikrin wa ruwiyatin. Akhlak itu adalah perbuatan yang dilakukan tanpa
proses pemikiran dan pertimbangan. Supaya lebih netral dinamakan pendidikan
karakter. Kesimpulannya membaca literatur tidak menyelesaikan masalah. Yang
berhasil melakukan pendidikan akhlak yaitu Nabi Muhammad, data dan catatannya
ada. Melakukan pendidikan akhlak yaitu dengan: (1) sedikit pengajaran. Maka
dari itu hadits Nabi pendek-pendek yang panjang sanad-nya. Bukan supaya gampang
untuk dihafalkan, karena Nabi memahami bahwa memperbaiki masyarakat bukan
dengan omongan, do more talk less. (2) banyak peneladanan. (3) banyak
pembiasaan. (4) pemotivasian. (5) penegakan aturan. (6) penciptaan lapangan
kerja.
Inilah yang menjadi penyebab sulitnya pendidikan karakter
meskipun kurikulum saat ini berbasis karakter.
-disampaikan oleh Prof. Dr. Ahmad Tafsir, MA (UIN Sunan Gunung Djati Bandung), disarikan oleh SaddamSulton, S.Pd.I-
Komentar
Posting Komentar
Comments: