Ketika diambang persimpangan

Ketika diambang persimpangan,,,,
yah antara benar dan salah,, antara ragu dan yakin,, antara satu dan dua, antara hitam dan putih,, antara terang dan gelap,, antara jelas dan samar,,,
tapi yang jelas... Benar adalah benar dan Salah adalah salah. Tidak bisa kita campuradukkan antara benar dan salah.
Segalanya secara terang telah di jelaskan dalam Kitab-Nya. 
QS Al Baqarah (2) : 42
Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.

Ketika diambang persimpangan,,,,
ko jadi ragu, apa yang diragukan. Mungkin karena mel;ihat sekeliling seperti yang terlihat, jadinya ikut. lOH,,

SURAT AL-BAQARAH (2) Ayat 147
الْحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
[Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.]
[The truth is from your Lord, therefore you should not be of the doubters.]

1). Kata kunci di ayat ini ialah الْحَقُّ (al-haqq, kebenaran), yang merupakan pengulangan dari kata yang sama di penggalan ayat terdahulu: وَإِنَّ فَرِيقاً مِّنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ (wa inna farĭqan minɦum layaktumŭn-al-haqqa wa ɦum ya’lamŭn, dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui). Manusia bisa melakukan apa saja untuk menyembunyikan kebenaran, tapi mereka tidak bisa mengenyahkannya. Kebenaran bagai pohon yang berdiri tegak-mandiri di atas tanah tanpa perlu bersandar kepada apapun. Sebaliknya, kebatilan bagai selembar papan yang hanya mampu berdiri manakala bersandar kepada benda lain. Dan karena kebenaran tidak mungkin membuka diri untuk disandari oleh kebatilan, maka benda yang menjadi sandaran papan kebatilan tersebut adalah kebatilan juga. Papan hanya bisa berdiri apabila mereka sendiri yang saling menyandari. Jadi kebatilan hanya bisa ‘tegak’ bilamana diantara mereka sendiri saling sandar-menyandari. Allah menyebut sifat saling menyandari ini dengan ungkapan: بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ (ba’dluɦum awliyāu ba’dlin, sebagian mereka adalah pelindung bagi sebagian yang lain). “Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari (siksaan) Allah. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertakwa.” (45:19)

2). Secara bahasa, الْحَقُّ (al-haqq, kebenaran) adalah kata tunggal berbentuk ma’rifah (definite), yang menunjukkan tiadanya keraguan dan kesamaran tentangnya; objek yang dibicarakannya jelas dan tak ada maksud lain selain dia (objek tersebut). Dalam bentuk nakirah (indefenite)—حَقُّ (haqq)—secara bebas artinya “benar”. Setelah mendapatkan kata sandang الْ (al), menjadi الْحَقُّ (al-haqq), artinya ialah “kebenaran” atau “yang benar”. Kata الْحَقُّ (al-haqq) muncul sebanyak kurang lebih 210 kali dalam al-Qur’an. Dari jumlah sebanyak itu, kata sandang الْ (al) yang merupakan definite article (artikula yang mendefenitifkan dan atau mensubstansikan kata benda yang disandangnya—seperti “the” dalam Bahasa Inggeris, “yang” atau “sang” dalam Bahasa Indonesia) yang ada di dalam kata الْحَقُّ (al-haqq) tersebut bisa kita bagi dua. Yang pertama ialah أَلْ العَهْدِيّة  (“alal-‘aɦdiyah); yaitu artikula الْ (al) yang kata atau identitas objek yang disandangnya dikenal baik oleh pembicara ataupun oleh orang yang diajak bicara atau pendengar. Yang kedua ialah أَلْ الجِنْسِية (“alal-jinsiyah); yaitu artikula الْ (al) yang melibatkan seluruh anggota genus dari kata yang disandangnya. Contoh untuk jenis pertama ialah: “Yang demikian itu, karena sesungguhnya Allah, Dialah الْحَقُّ (al-haqq, Sang Kebenaran) dan sesungguhnya Dialah yang menghidupkan segala yang mati dan sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala suatu.” (22:6) Sedangkan kata الْحَقُّ (al-haqq) pada ayat yang sedang kita komentari sekarang (ayat 147)  الْ (al)-nya  masuk kategori jenis kedua, أَلْ الجِنْسِية (“alal-jinsiyah). Yaitu bahwa seluruh “kebenaran” atau “yang benar” adalah berasal dari Tuhan. “Dan katakanlah: ‘الْحَقّ (al-haqq, kebenaran atau yang benar) itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir’. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (18:29)

3). Bagaimana menjelaskan bahwa semua “kebenaran” atau “yang benar” itu berasal dari Tuhan? Selama kita mengakui bahwa secara ontologis segala sesuatu berasal dari Tuhan, tentu tidak sulit menjelaskannya. Karena sebelum segala sesuatunya ada Yang Ada hanya Dia, maka satu-satunya yang mungkin ialah bahwa segala sesuatu tersebut merupakan tajalliyat (jelmaan atau manifestasi) dari Dia, yang secara kreatif disebut makhluq atau ciptaan-Nya. Tak terkecuali hal-hal yang kita sebut “yang benar” atau “kebenaran”. Terma yang paling cocok untuk menyebut Dia sebagai sumber segala “yang benar” atau “kebenaran” ialah الْحَقُّ (al-haqq). Artikula الْ (al) dalam kata الْحَقُّ (al-haqq)-nya Tuhan inilah yang disebut أَلْ العَهْدِيّة  (“alal-‘aɦdiyah). Jadi bukan saja semua “yang benar” atau “kebenaran” itu berasal dari Dia, tapi Dia juga ialah الْحَقُّ (al-haqq) itu sendiri (perhatikan kembali 22:6 pada poin sebelumnya). Dialah Yang Maha Benar. Dialah Sang Kebenaran. Ini tak saja dikenal dalam sosiologi agama tapi juga dikenal dalam teologi rasional; dikenal oleh akal sehat manusia. Maka apa yang kita sebut “yang benar” atau “kebenaran” hanyalah percikan-percikan atau berkas-berkas Cahaya Kebenaran-Nya. Selain “yang benar” atau “kebenaran” adalah “yang batil” atau “kebatilan”. Konsekuensinya segala sesuatu yang kita sebut “yang batil” atau “kebatilan” pada dasarnya tidak mempunyai sumber ontologis. “Demikianlah, karena sesungguhnya Allah Dialah الْحَقُّ (al-haqq) dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah itulah yang batil; dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (31:30)

4). Karena semua “yang benar” atau “kebenaran” terbukti mempunyai sumber ontologis dan epistemologis, maka praktis tidak tersedia lagi ruang untuk meragukannya. Kalau toh ada yang meragukannya atau bahkan menentangnya, maka sumber kekisruhannya terletak pada masalah “kesadaran”. Yaitu, apakah yang bersangkutan menemukan atau tidak, hubungan ontologis dan epistemologis antara “yang benar” atau “kebenaran” tersebut dengan Sumber Asalinya, الْحَقُّ (al-haqq, Yang Maha Benar atau Sang Kebenaran). Tidak menyadari adanya hubungan itu tidak berarti meniadakan hubungan tersebut. Di ayat sebelumnya (146) disebutkan, penyebabnya bukan karena mereka tidak menyadari atau mengetahui, tapi justru karena adanya unsur kesengajaan untuk menyembunyikannya: وَإِنَّ فَرِيقاً مِّنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ (wa inna farĭqan minɦum layaktumŭnal-haqqa wa ɦum ya’lamŭn, dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui). Keraguan sendiri bukanlah sesuatu yang sifatnya negatif. Keraguan adalah jembatan emas untuk menuju ke keyakinan; selama keraguan tersebut menjadi titik-anjak atau pemantik untuk melakukan pencarian. Makna ayat فَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ (fa lā takŭnanna minal-mumtarĭn, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu), ialah janganlah hendaknya menjadikan keraguan sebagai tempat berlabu. Begitu berlabuh di sana maka pada hakikatnya bukan lagi “keraguan”, tetapi berubah menjadi “keengganan” (skeptisisme). “Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keadaan syak-wasangka tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca Kitab Suci sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu.” (10:94)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAGAIMANA MEMILIH DAN MENYUSUN BAHAN AJAR

AL-TARADUF WA AL-ISYTIRAK WA AL-TADHAD