Behaviorisme Muhadatsah
TEORI BEHAVIORISME DALAM PEMBELAJARAN MUHADATSAH
A.
Behaviorisme
dan Pembelajaran
Aliran Behaviorisme (المدرسة السلوكية) memandang bahwa perilaku manusia merupakan perilaku yang
dapat dipelajari dan diamati secara nyata, dan terbentuk karena dipengaruhi
oleh faktor eksternal (di luar diri manusia). Teori ini
kemudian diaplikasikan dalam konsep belajar. Menurut aliran ini, belajar
merupakan proses responsi karena adanya stimulus (rangsangan) yang mendorong
adanya perubahan perilaku. Stimulus belajar dapat berupa: motivasi, ganjaran
(reward), hukuman (punishment), dan lingkungan kondusif.[1]
Teori ini dirintis oleh Ivan Pavlov (1849-1929). Dengan teorinya dia
menghubungkan antara stimulus primer, stimulus sekunder dan respon. Kemudian
teori ini dikembangkan lagi oleh Edward Thorndike dengan teori hukum efek yang memberikan
perhatian pada ganjaran dan hukuman dengan demikian dalam tingkah laku belajar
dan mengajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi reaksi behavioral dan
stimulus.
Selanjutnya,
Edward Thorndike dengan teori “hukum efek” memberikan perhatian pada ganjaran
dan hukuman (reward and punishment). Pada teori belajar ini sering disebut S-R
psikologis artinya bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau
reward dan penguatan atau reinforcement dari lingkungan. Dengan demikian dalam
tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi
behavioural dengan stimulusnya. kemudian dikembangkan oleh psikolog Amerika,
John B. Watson (1878-1958) dan akhirnya dimatangkan oleh Burhus F. Skinner
(1904-1990).
Selanjutnya teori ini dikembangkan oleh John B. Watson Watson
mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon,
namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable)
dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental
dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor
tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat
diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang
belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang
sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat
diamati dan diukur.
Menurut
Skinner, belajar dan memperoleh bahasa sama dengan pemerolehan kebiasaan,
karena bahasa merupakan bagian dari perilaku manusia. Belajar dan mengajarkan
bahasa sama artinya belajar dan mengajarkan perilaku, yang dapat terbentuk
melalui adanya respons terhadap stimulus, pengulangan, dan penguatan (reinforcement)
dalam bentuk performansi berupa praktik berbahasa.[2]
Skinner menganggap reward dan rierforcement merupakan
factor penting dalan belajar. Skinner berpendapat bahwa tujuan psikologi adalah
meramal mengontrol tingkah laku. Dalam hal ini, memberi penghargaan hadiah atau
nilai tinggi sehingga anak akan lebih rajin. Teori ini juga disebut dengan operant
conditioning (cara kerja yang menentukan). Operans conditioning
menjamin respon terhadap stimuli. Bila tidak menunjukkan stimuli, maka guru tidak
dapat membimbing siswa untuk mengarahkan tingkah lakunya. seharusnya Guru
memiliki peran dalam mengontrol dan mengarahkan siswa dalam proses belajar
sehingga tercapai tujuan yang diinginkan. Operans conditioning adalah
suatu proses penguatan perilaku operans yang dapat mengakibatkan
perilaku tersebut dapat diulang kembali atau menghilang sesuai keinginan.[3]
Ciri dari teori belajar behaviorisme adalah, mengutamakan
unsur-unsur dan bagian-bagian kecil, yang bersifat mekanistis. Teori ini
menekankan peranan lingkungan dan mementingkan pembentukan reaksi atau respon.
Di samping itu juga menekankan pentingnya latihan dan mekanisme hasil belajar
serta mementingkan peranan kemampuan. Hasil belajar yang diperoleh adalah
munculnya perilaku yang diinginkan.
Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku
manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau reinforcement
dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku
belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioural dengan
stimulusnya. Guru yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku
siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkah laku adalah hasil
belajar.[4]
Menurut aliran behaviorisme ini, keberhasilan belajar dan pengajaran
terletak pada tiga kunci, yaitu : peniruan, pengulangan dan praktik berbahasa.
Karena behaviorisme itu sendiri cenderung melihat pembelajaran bahasa sebagai
proses mekanik deteministik, sebuah proses pembelajaran yang sangat ditentukan
oleh faktor lingkungan dan pembiasaan, bukan oleh faktor-faktor kognisi dan
mentalistik.
Teori behavioris mengatakan bahwa
makna suatu ungkapan ialah rangsangan (مثير) yang menimbulkannya, atau respon (استجابة) yang ditimbulkannya, atau kombinasi dari rangsangan dan respon
pada waktu pengungkapan kalimat itu.
(م) س---------------- م (س)
مؤثر
بيئي استجابة لغوية مؤثر لغوي استجابة فعليّة
Dengan teori ini, berarti lingkungan memiliki andil besar dalam
pembentukan bahasa dan makna.[5]
Menurut
hemat kami, aliran behaviorisme ini sangat sesuai dengan metode pengajaran
dengar ucap atau audiolingual dimana metode ini berasumsi yakni bahasa adalah
apa yang diucapkan orang-orang dan bukan apa yang dituliskan oleh orang
orang.bahasa adalah seperangkat kebiasaan. Yang harus diajarkan adalah bahasa
bukan mengenai bahasa. Dan bahasa adalah apa yang diujarkan dan bukan yang
seharusnya diujarkan. Dengan sebab pertimbangan seperti itu maka kami akan
mencoba mengajarkan bahasa arab melalui aliran behavorisme yaitu stimulus dan
respon dipadu dengan metode dengar ucap atau audio lingual.
B. Pembelajaran Muhadatsah
Pembelajaran bahasa Arab menuntut kemahiran berbicara
(Muhadatsah). Muhadatsah merupakan sarana utama untuk membina saling
pengertian, komunikasi timbal balik dengan menggunakan bahasa sebagai medianya.
Hakikat muhadatsah yaitu dialog bebas
yang berlangsung secara spontan antara dua pihak mengenai topik tertentu,
sedangkan tujuan pembelajaran muhadatsah adalah agar sisswa mampu mengawali
percakapan, menumbuhkembangkan perbendaharaan kebahasaan, mendayagunakan
pengetahuan kebahasaaannya (kosakata dan struktur) dalam benuk percakapan
dengan penuh percaya diri bersikap kreaif dan inovatif dalam memilih respon
yang sesuai konteks lingkungannya, memahami konsep-konsep komunikasi dan
menerapkannya secara efektif dengan penutur asli bahasa Arab, serta memahami
aspek-aspek psikologis percakapan.[6]
Pembelajaran Muhadatsah mempunyai aspek
komunikasi dua arah, yakni antara pembicara dengan pendengarnya secara timbal
balik. Dengan demikian latihan muhadatsah harus terlebih dahulu didasari oleh
(1) kemampuan mendengarkan, (2) kemampuan mengucapkan, dan (3) penguasaan
(relatif) kosa kata dan ungkapan yang memungkinkan siswa dapat
mengkomunikasikan maksud dan fikirannya. Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa
latihan berbicara (muhadatsah) merupakan kelanjutan dari latihan menyimak yang
di dalam kegiatannya juga terdapat latihan mengucapkan.
Kunci keberhasilan pembelajaran ini sebenarnya
ada pada guru. Guru hendaknya secara tepat memilih topik pembicaraan sesuai
dengan tingkat kemampuan siswa, dan memiliki kreativitas dalam mengembangkan
model-model pembelajaran berbicara yang banyak sekali variasinya. Faktor lain
yang menentukan keberhasilan pembelajaran bahasa adalah keberanian murid dan
perasaan tidak takut salah. Oleh karena itu guru harus dapat memberikan
dorongan kepada siswa agar berani berbicara kendatipun dengan resiko salah.
Siswa hendaknya ditekankan bahwa takut salah adalah kesalahan yang paling
besar.
Sistem pembelajaran Bahasa Arab ini didasarkan
pada asumsi bahwa bahasa adalah gejala alami manusia untuk menyampaikan ide
kepada orang lain atau menerima ide dari orang lain. Dengan kata lain manusia
sebagai makhluk sosial menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi dalam
berinteraksi dengan sesamanya.
Sistem pembelajaran Bahasa arab ini lebih cepat (lebih
efektif) mengantarkan siswa menguasai bahasa arab sebagai alat komunikasi
apabila didukung oleh komunitas sosial yang menggunakan Bahasa arab sebagai
alat komunikasi sehari-hari. Artinya, komunitas sosial yang menuntut setiap
orang yang ada di dalamnya untuk selalu berkomunikasi dengan Bahasa Arab secara
aktif. Situasi kondusif ini dapat dimaklumi misalnya dua orang atau lebih yang
belajar muhadatsah (percakapan) langsung, maka idenya disampaikan dengan
kata-kata yang didukung dengan ekspresi mereka dan media ingkungan tempat
mereka berada sehingga proses belajar menjadi efektif.
Akan tetapi pembelajaran Bahasa Arab menjadi tidak
efektif apabila tidak didukung oleh lingkungan masyarakat yang menggunakan
Bahasa Arab sebagai alat komunikasi sehari-hari. Para pengajar yang menerapkan
sistem pembelajaran Bahasa Arab ini dituntut untuk selalu menyajikan materi
pelajaran Bahasa Arab secara dinamis seiring dengan dinamika perkembangan
bahasa yang digunakan oleh penutur asli (native speaker) dari waktu ke
waktu.
C. Aplikasi Behaviorisme
dalam Pembelajaran Muhadatsah
Aliran psikologi belajar yang sangat besar mempengaruhi
arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini
adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku
yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus
responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon
atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan
semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement
dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Istilah-istilah seperti hubungan stimulus respon,
individu atau siswa pasif, perilaku sebagai hasil yang tampak, pembentukan
perilaku (shaping) dengan penataan kondisi secara ketat, reinforcement
dan hukuman,
merupakan unsur-unsur yang sangat penting dalam teori behavioristik. Teknik pembelajaran ini masih mendominasi dalam
pembelajaran di Indonesia. Hal ini tampak dengan jelas pada penyelenggaraan
pembelajaran dari tingkat yang paling dini, seperti kelompok bermain, Taman
Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, bahkan sampai Perguruan Tinggi,
pembentukan perilaku dengan cara drill (pembiasaan) disertai dengan reinforcement
atau hukuman masih sering dilakukan.
Dalam teori behaviorisme, segala tingkah laku manusia
menjadi suatu perilaku berbahasa yang menjadi manifestasi stimulus dan respon
yang dilakukan terus-menerus menjadi sebuah kebiasaan.
Berdasarkan teori ini, pembelajaran
bahasa dilakukan dengan mendahulukan pengenalan keterampilan mendengar dan
berbicara daripada keterampilan lainnya; pemberian latihan-latihan dan
penggunaan bahasa secara aktif dan terus-menerus; penciptaan lingkungan
berbahasa yang kondusif; penggunaan media pembelajaran yang memungkinkan siswa
mendengar dan berinteraksi dengan penutur asli; pembiasaan motivasi; sehingga
berbahasa asing menjadi sebuah perilaku kebiasaan.[7]
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran
tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi
pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang
tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik
memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah.
Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan
pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of
knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran
adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses
berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari
proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan
tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap
pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru
itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam proses belajar mengajar, siswa
dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan
dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang
terstruktur dengan menggunakan standart-standart tertentu dalam proses
pembelajaran yang harus dicapai oleh para siswa. Begitu juga dalam proses
evaluasi belajar siswa diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati
sehingga hal-hal yang bersifat unobservable kurang dijangkau dalam proses
evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses
pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi siswa
untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri.
Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam
menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau
robot. Akibatnya siswa kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang
ada pada diri mereka.
Ada beberapa kegiatan pembelajaran
bahasa Arab yang dapat dikembangkan berdasarkan teori ini. Di antara yang
penting adalah:
(1) pengenalan keterampilan mendengar dan berbicara
sebagai awal dalam pembelajaran sebelum keterampilan membaca dan menulis;
(2) latihan dan penggunaan bahasa secara aktif dan terus
menerus agar pembelajar memiliki keterampilan berbahasa dan terbentuk kebiasaan
menggunakan bahasa;
(3) penciptaan
lingkungan berbahasa yang kondusif agar mendukung proses pembiasaan berbahasa
secara efektif;
(4) penggunaan
media pembelajaran yang memungkinkan pembelajar mendengar dan berinteraksi
dengan penutur asli; dan
(5) memotivasi
guru bahasa untuk terampil berbahasa secara baik dan benar, sehingga dapat
menjadi teladan yang baik bagi para siswanya dalam berbahasa.[8]
Penerapan teori
behaviorisme ini dalam pembelajaran bahasa Arab khususnya pembelajaran
muhadatsah akan efektif, jika pembelajar memiliki motivasi yang kuat, didukung
oleh penciptaan lingkungan berbahasa Arab yang kondusif seperti di beberapa
pondok pesantren yang bahasa kesehariannya adalah bahasa Arab.
Salah satu faktor
yang sangat mempengaruhi dan menentukan keberhasilan proses pembelajaran bahasa
adalah lingkungan (bi'ah, environment), tak terkecuali lingkungan berbahasa.
Dan tujuan penciptaan lingkungan berbahasa Arab, tidak lain adalah (1) untuk
membiasakan dan membiasakan dalam memanfaatkan bahasa Arab secara komunikatif,
melalui praktik percakapan (muhadatsah), diskusi (munaqasyah), seminar
(nadwah), ceramah dan berekspresi melalui tulisan (ta'bir dan tahriry); (2)
memberikan penguatan (reinforcement) pemerolehan bahasa yang sudah dipelajari
di kelas; dan (3) menumbuhkan kreativitas dan aktivitas berbahasa Arab yang
terpadu anatara teori dan praktik dalam suasana informal yang santai dan
menyenangkan.
Ada beberapa tahap keterampilan dalam muhadatsah, di antaranya:[9]
a.
Tingkat pemula
·
Siswa terbatas hanya
menghafal pola-pola percakapan Arab.
·
Topik percakapan masih
terbatas
·
Tehnik penyajiaanya
diawali dengan pengucapan materi percakapan oleh guru untuk ditirukan,
diperagakan dan dihafalkan oleh siswa
·
Fokus perhatian guru
adalah melatih siswa terbiasa dengan bunyi, kosakata, dan bentuk ekspresi
bahasa arab.
b.
Tingkat menegah
·
Topik percakapan lebih
luas dan kompleks.
·
Guru mengingatkan beberapa
hal yang dianggap penting.
c.
Tingkat lanjutan
·
Guru berfungsi sebagai
pengarah percakapan
Dalam mengajarkan muhadatsah yang sesuai dengan aliran
behaviorisme ada beberapa point yang harus diperhatikan oleh guru, di antaranya
adalah:[10]
·
Guru harus memperhatikan
kesiapan linguistik siswa
·
Topik percakapan harus di
berikan secara berjenjang
·
Guru memperhatikan tingkat
kesulitan struktur kalimat.
·
Guru harus memberikan
alternatif bentuk bahasa arab yang tepat dengan tetap memperhatikan
prinsip-prinsip psikologis agar tidak berdampak negatif bagi siswa.
Jika dikaitkan
dengan pembelajaran bahasa khususnya dalam pembelajaran Muhadatsah,
karakteristik teori behaviorisme terhadap pembelajaran bahasa diantaranya
adalah: penyajian materi lebih banyak dengan hiwar, lebih banyak melakukan peniruan
dan menghafal idiom-idiom, menyajikan satu kalimat dalam satu situasi, tidak
menyajikan struktur nahwu secara terpisah, dan lebih baik dengan sistem
deduktif, lebih menitik beratkan pada ujaran, lebih banyak menggunakan bahasa
dalam komunikasi dan banyak menggunakan lab bahasa, memberikan reward bagi
respon positif, mendukung untuk berbahasa, perhatian lebih pada bahasa bukan
isi bahasa.
[1] Aziz Fachrurrazi dan
Erta Mahyudin, Pembelajaran Bahasa Asing: Metode Tradisional dan Kontemporer,
(Jakarta: Bania Publishing, 2010), h. 35.
[2]
Ibid, h. 36
[3]
Umi Machmudah dan Abdul Wahab Rasyid, Active Learning dalam Pembelajaran
Bahasa Arab, (Malang: UIN Malang Press, 2008) h. 43.
[6]
Aziz Fachrurrozi dan Muhson Nawawi, Kontrak Perkuliahan MKPBA II, (Jakarta:
Jurusan PBA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010) h. 15-16.
[9]
Aziz Fachrurrozi dan Muhson Nawawi, Op.cit, h. 16.
[10]
Ibid, h. 17.
Komentar
Posting Komentar
Comments: