Apakah Tuhan Perlu Dibela?
APAKAH TUHAN
PERLU DIBELA?
Ketika kita
berbicara tentang Tuhan yang tidak perlu dibela 1) maka kita yakin
betul bahwa Allah adalah mahabesar, mahakuat, mahaperkasa. Dengan kemahaanNya,
maka Ia tak butuh apapun. Dengan ibadah kita, tak akan menambah perbendaharaan
kekayaanNya. Dengan kemungkaran seluruh manusia di muka bumi, tak akan sedikit
pun mengurangi kemuliaanNya. Kita beribadah karena kita butuh, tak semata itu
adalah kewajiban. Sampai di sini saya sepakat.
Tapi kalimat
Tuhan yang tidak perlu dibela itu seringkali menjadi argumentasi bahwa Allah
tak perlu pembelaan kita. Dengan demikian Islam pun tak perlu pembelaan dari
umatnya. Ketika ada yang berbicara anjinghu akbar dalam sebuah forum maka
sepatutnya kita diam. Waktu ada yang menghina nabi Muhammad, ya cukup diam
saja. Kalau ada yang bilang ada nabi setelah Rasul Muhammad saw, ya cukup
hormati saja pendapat itu karena hanya beda tafsir dalam memandang suatu dalil.
Atau paling
banter dengan memberikan nasihat yang baik, tidak memberikan stigma sesat, dan
jika tidak berubah, show must go on, hidup terus berlanjut karena
Allah saja yang memberikan hidayah dan membolak-balikkan hati seseorang serta
tidak ada yang mampu menyesatkan manusia jika manusia itu telah mendapat
petunjuk Allah. Dalilnya adalah Al-Maidah ayat 105.
Hai
orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan
memberi mudarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada
Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah
kamu kerjakan.
Dengan ayat
itu maka kalau ada aliran-aliran yang dianggap sesat oleh umat Islam, ya
biarkan saja mereka untuk mendakwahkan ajaran mereka, karena Allah sudah jamin
buat orang yang beriman bahwa orang yang beriman itu tidak akan pernah
terjerumus dalam kesesatan karena dijaga Allah. Ini menjadi dalil implisit
bahwa Allah tidak perlu dijaga, karena Allahlah yang menjaga manusia dari
setiap kesesatan.
Atau dengan
kata lain pula kalau Jaringan Islam Liberal mendakwahkan pemikirannya maka
kalau orang yang beriman tentu tidak akan terpengaruh sama sekali. Juga kalau
ada misi dan ajakan dari agama lain maka yang disalahkan adalah umat Islam yang
mudah begitu saja kehilangan imannya. Kalau umat sudah diberikan petunjuk Allah
maka misi itu tidak akan berpengaruh sama sekali. Tetapi apakah betul memang
demikian?
Ujung dari
pernyataan Tuhan yang tak perlu pembelaan itu adalah Islam yang tak butuh
pembelaan dari umatnya. Ujung-ujungnya adalah pelemahan semangat jihad umat.
Karena umat Islam cukup pasif saja. Cukup menjadi objek derita dari apa yang
menimpanya. Mulai dari serangan pemikiran, invasi, pembusukan, perpecahan umat,
kemiskinan, kebodohan, pembodohan, penindasan, diskriminasi, penyakit
masyarakat, dan semua yang melemahkannya.
Ketika umat
dituntut untuk tak perlu pembelaan, maka sebenarnya pula ini menihilkan makna
dari iman kepada Allah itu sendiri. Mengapa demikian? Karena ketika kita
beriman kepada Allah swt, maka konsekuensinya adalah kita cinta kepada Allah.
Cinta ini akan menghasilkan sebuah loyalitas terhadap siapa dan apa yang
dicintai Allah serta menghasilkan pelepasan diri dari siapa dan apa yang
dibenci Allah.
Mudahnya adalah
cinta kepada Allah akan mewujudkan kerelaan untuk berkorban. Berkorban apa yang
dimilikinya—bahkan jiwanya, untuk membela syariatNya, saudara-saudaranya, dan
keyakinannya.
Dalam bahasa
yang lebih sederhana, Akmal menggambarkan bahwa cinta itu butuh pembuktian
meskipun tak ada yang meminta. Orang tua mungkin tidak pernah meminta agar
anak-anaknya menanggung kehidupannya pada masa tua kelak. Namun orang yang
mengabaikan orang tuanya yang sudah renta, maka kecintaannya niscaya
dipertanyakan. Kalau istri dimaki orang, tak perlu diminta pun suami harus
memberikan pembelaan. Akal siapa pun akan mampu memahami hal ini. Cinta dan
pembelaan adalah dua sisi mata uang; jika ada cinta, pasti ada pembelaan.
Dengan kata lain, jika tak ada pembelaan pastilah tak ada cinta. 2)
Apakah Allah
perlu dibela?
Apakah Islam
perlu di bela?? Untuk mengetahui jawabannya mari kita simak & perhatikan
dgn seksama ayat” suci Al-Qur’an berikut ini:
· Q.S.22. Al-Hajj: 40 artinya:
“Sesungguhnya Allâh SWT pasti menolong orang yg menolong-NYA. Sesungguhnya
Allah SWT bener-bener Maha Kuat lagi Maha Perkasa”.
· Q.S.47. Muhammad: 7, yg
artinya: “Wahai orang-orang yg beriman, jika engkau menolong Allah niscaya
Allah SWT akan menolongmu & meneguhkan kedudukanmu”.
· Q.S.61. Ash-Shaff: 14, yg artinya:
“Hai orang-orang yg beriman jadilah kamu Penolong-penolong Allah”.
· Maha Suci Allah SWT yg
telah berfirman dlm Q.S.29. Al-’Ankabût ayat 6, yg artinya: “Dan barangsiapa yg
berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya
Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”.
· Maha Suci Allah SWT yg
telah berfirman dlm Q.S.3. Åli-’Imrân ayat 97, yg artinya:
“Barangsiapa yg kufur (mengingkari kewajiban), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”.
“Barangsiapa yg kufur (mengingkari kewajiban), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”.
Dan cukupkah
ketika melihat penistaan, pembusukan, serta kemungkaran itu umat berdiam diri?
Umat cukup pasif? Tidak. Karena diam adalah selemah-lemahnya iman. Kanjeng Nabi
SAW pernah berkata, “barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran
maka hendaklah ia merubah dengan tangan, jika tidak bisa maka dengan lisannya,
jika tidak bisa juga maka dengan hatinya, itulah selemah-lemah iman.” 3)
Ketika
dikehendaki bahwa diam adalah laku seorang muslim saat menjadi objek penderita
maka sama saja menjadikan umat Islam menjadi umat yang fatalis, umat yang
sangat pasif, pasrah, dan tak punya pilihan sama sekali dalam hidup. Tidak.
Tidaklah begini tuntutan iman kepada Allah, hari akhir, dan qadha qadarnya.
Dan ketika
berhadapan dengan penyeru kesesatan, cukupkah umat diam atau paling banter
menasehatinya? Tentu, nasehat adalah jalan agama. Bukankah agama adalah
nasehat? Tetapi ketika nasehat sudah direalisasikan, belumlah cukup menyerahkan
semuanya kepada Allah yang mahakuasa dan berkehendak atas segala sesuatu,
sepanjang mengubah kemungkaran dengan tangan belum pernah dilakukan atau tak
terbersit dalam hati untuk melakukannya. Bukankah nasehat itu adalah jalan
kedua beramar ma’ruf nahi munkar? Dan setelahnya adalah dengan hati. Walau itu
selemah-lemahnya iman.
Memberikan
nasehat pun perlu parameter yang jelas untuk mengukur letak sebuah kesalahan.
Parameter-parameter yang sudah ditentukan oleh para ulama dalam memandang
kesesatan adalah salah satu yang bisa dijadikan contoh.
Majelis Ulama
Indonesia mempunyai kriteria untuk menentukan kesesatan sebuah kelompok yang
menistakan agama Islam. Dan mau tidak mau fatwa MUI mematok ukuran sesat itu
adalah sebuah nasehat. Nasehat yang memberikan stigma agar umat awas.
Dengan kata
lain, sebagai umat yang senantiasa bersemangat membela agamanya sebagai bentuk
rasa cinta kepada Allah, maka berdiam diri membiarkan kesesatan dan pembusukan
terhadap umat adalah memastikan azab Allah turun dan tak akan pernah ada doa
dari para hambaNya yang dikabulkan. 4)
Ketika saya
ditunjukkan Al-Maidah ayat 105 oleh santri pendukung JIL itu, maka menurutnya,
jika saya beriman tentu saya akan menuruti perintah dan permintaan Tuhan yang
tidak memerlukan pembelaan. Kalau hati saya tidak buta, saya tentu akan menerima
ayat itu. Insya Allah saya bukanlah seperti yang dituduhkannya.
Coba kalau
kita cermati Al-Maidah 105 itu, jika bisa dianggap dalil bahwa Tuhan tak perlu
dibela maka dalil itu adalah dalil implisit. Ada dalil yang nyata dan lebih
eksplisit tentang pembelaan terhadap agama Allah yakni dalam surat Muhammad
ayat 7:
“Hai
orang-orang yang beriman, jika kamu menolong Allah, maka Dia menolongmu dan
meneguhkan kedudukanmu.”
dan Al Hajj
ayat 40 :
“…Sesungguhnya
Allah pasti menolong orang yang menolongNya. Sesungguhnya Allah benar-benar
Mahakuat lagi Maha Perkasa.”
Tapi sang
santri menolak ayat itu sebagai dalil karena Muhammad ayat 7 digunakan dalam
konteks tazkiyyah tauhid melawan penyembah berhala. Ini berarti tak bisa
digunakan dalam konteks kekinian jika bukan melawan orang-orang musyrik.
Ayat-ayat itu
menurutnya tak bisa digunakan sebagai dalil membela agama Allah ketika misalnya
Islam dirongrong oleh mereka-mereka yang mengaku sebagai nabi setelah Muhammad,
mengaku sebagai Jibril, bahkan mengaku sebagai Tuhan. Atau ketika aturan Islam
dilecehkan dan diputarbalikkan sedemikian rupa dikemas dengan argumentasi
ilmiah.
Bahkan bisa
diartikan pula ayat-ayat itu itu tak bisa digunakan dalam konteks perjuangan
dakwah di bidang apapun misalnya pendidikan, kesehatan, politik, dan ekonomi
umat. Karena maknanya dipersempit sedemikian rupa (sebuah anomali karena
biasanya penyeru JIL anti tekstualis).
Kalau kita
cermati lebih dalam lagi, tiga ayat ini mempunyai keterkaitan begitu luar
biasa. Antara Al Maidah ayat 105 dengan Al Hajj ayat 40 misalnya. Dalam tafsir
Ibnu Katsir membahas Al Maidah ayat 105 urusan tidak disesatkan ini tidak akan
pernah bisa lepas dari upaya amar ma’ruf nahi mungkar 5). Al Hajj
ayat 41 menerangkan siapa orang-orang yang dimaksud dalam ayat sebelumnya dan
ternyata salah satunya adalah mereka yang berbuat makruf dan mencegah dari
perbuatan mungkar. Artinya?
Ternyata
makna: “tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepadamu apabila
kamu telah mendapat petunjuk” hanya akan jalan jika kita beramar ma’ruf
dan nahi mungkar. Simpelnya: selain mendapat petunjuk dari Allah maka kerja
amar ma’ruf dan nahi munkar akan membuat kita tidak bisa disesatkan.
Merujuk pada
Muhammad ayat 7, jika kita menolong Allah maka ada dua hal yang didapat, yaitu
kita akan ditolong Allah dan diteguhkan kedudukan kita. Di mana dalam Al Hajj
ayat 41 itu orang yang diteguhkan kedudukannya niscaya mereka melakukan
perbuatan antara lain berbuat makruf dan dan mencegah kemungkaran.
Ringkasnya
adalah ketika menyatakan Tuhan tidak perlu dibela dengan dalil implisit Al
Maaidah ayat 105, malah ini semakin menegaskan bahwa Allah akan menolong orang
yang menolongNya dengan semua kemahaanNya.
Tidak akan
pernah disesatkan kecuali orang yang mendapat petunjuk dan beramar makruf nahi
mungkar. Tidak akan pernah disesatkan kecuali orang yang mendapat hidayah dan
membela agama Allah.
Umat Islam
adalah umat yang aktif, yang senantiasa bergerak dan berjuang serta bukan umat
yang pasif bahkan fatalis. Amar makruf nahi mungkar adalah kerja nyata untuk
membendung dan melindungi umat dari setiap kesesatan dan penistaan agama.
Semoga yang
sedikit ini bisa dimengerti. Semoga Allah melindungi kita dari setiap
kesesatan. Semoga Allah menjadikan kita sebagai pejuang-pejuang dan
pembela-pembela Islam. Semoga Allah menjadikan diri kita penolong-penolongNya.
***
Catatan kaki:
1) Pemikiran Gus Dur yang ditulis dalam bukunya yang berjudul Tuhan Tidak
Perlu Dibela;
2) Akmal Syafril, Islam Liberal 101, Depok: Penerbit Indie Publishing,
Cetakan Keempat, Februari 2012, halaman 19;
3) HR Muslim dalam Al Iman (49);
4) HR Ahmad dalam musnad-nya, 5/288-289, 391 dari hadits Hudzaifah
bin Yaman ra secara marfu’
5) HR Attarmidzi dan HR Ibnu Jarir. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir
Jilid 2 Hal 168-169;
sumber>>
http://dirantingcemara.wordpress.com/2012/04/25/tuhan-tidak-perlu-dibela/
Komentar
Posting Komentar
Comments: